“Tumpek Pariwisata”


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Jangan-jangan ada yang telah memposisikan pariwisata
sebagai "dharma" serta "bhakti" baru dalam hidupnya.


DULU orang-orang di kampung saya, jika hendak menebang pohon untuk kebutuhan tertentu, ia akan menanam benih pohon yang sama di sampingnya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum pohon tadi ditebang. Dulu bapak saya merayakan Tumpek Wariga dengan menanam berbagai bibit tanaman baru di kebun setelah ritual. Betapa, filosofi dan praktik yang berjalan beriringan!

Sekarang, saya jadi ragu .... Benarkah Bali punya Tumpek Wariga? Atau Tumpek Kandang? Benarkah Bali punya Tri Hita Karana? Benarkah Bali punya Dewi Sri? Benarkah Bali punya Pura Ulun Suwi dan Pura Ulun Danu? Benarkah Bali punya banten? Benarkah Bali punya Bali?

Orang pasti akan menjawab, "Tentu saja punya!" Ya, punya. Tapi apa yang ada di dalam kepunyaan ini? Bagaimana Bali mendefinisikan kepunyaannya ini? Kepemilikan konsep, kebendaan, perilaku, sejarah, warisan, ekonomi, iman, simbol, nilai, makna? Atau sekadar gaya?

Yang jelas, sekarang kita tengah menyambut kehancuran lingkungan Bali. Saya tidak akan memberikan contoh kasus mana saja yang dimaksud karena sudah terlalu banyak berita tentangnya. Lagian saat ini kita begitu mudah menemukannya di sekeliling kita, bahkan di halaman rumah kita sendiri.

Banyak orang, termasuk saya, menyalahkan pariwisata sebagai tokoh besar dalam perusakan ini – dan tentu masih ada tokoh-tokoh lainnya. Industri pariwisata Bali, kita tahu, begitu jor-joran sehingga pada suatu titik mengalahkan kepentingan demi kepentingan, eksistensi demi eksistensi, bahkan iman demi iman orang-orang yang sebelumnya begitu getol memelihara hubungan ekologis dan religius dengan suatu objek yang kemudian dijadikan lahan atau barang dagangan industri pariwisata. Sebutlah misalnya sungai, pantai, tanah, sawah, pura, gunung, bahkan pekarangan rumah.

Objek-objek tersebut merupakan satu kesatuan hubungan hidup dengan orang Hindu Bali, sebagaimana yang tertuang dalam konsep Tri Hita Karana. Hubungan manusia dengan objek-objek itu adalah hubungan kehidupan lahir dan batin yang kesemuanya merupakan suatu kompleksitas untuk menuju kesejahteraan dan kedamaian hidup. Ini adalah hubungan yang saling memelihara.

Perilaku-perilaku manusia (Hindu Bali) dalam memberikan respon terhadap hubungan ini kemudian melahirkan – di antaranya – berbagai upacara-upacara yang terkonsep baik secara waktu, ruang, maupun situasinya. Ada hubungan spiritual dengan tumbuh-tumbuhan yang terefleksikan dalam ritual rerainan Tumpek Wariga. Demikian pula dengan bangsa binatang pada Tumpek Kandang, dan sebagainya. Hubungan parktis yang lahiriah lebih banyak terdapat dalam keseharian.

Bagi saya, rerainan-rerainan itu beserta ritual-ritual yang diberlakukan padanya merupakan reaksi manusia Hindu Bali terhadap hal-hal yang memberikan aksi positif terhadap kehidupannya. Aksi positif ini beserta reaksi yang diberikan manusia Hindu Bali merupakan suatu proses untuk melakoni hidup dan kehidupan yang sejahtera dan damai, baik secara ekonomi, sosial, budaya dan religi. Contoh-contoh mudah dapat dilihat ketika orang Hindu Bali yang berprofesi pedagang mengadakan pemujaan di Pura Melanting, nelayan di Pura Segara, dan sebagainya.

Ketika perubahan terjadi di Bali, dari tradisi ke modern, dari agraris ke industri, dari ndesa ke urban, objek-objek yang sebelumnya lekat dengan tradisi, agraris, ndesa pun ikut berubah, atau bahkan hilang dan tergantikan dengan yang modern, industri, urban. Terjadi perubahan pula pada orientasi nilai kesejahteraan dan kedamaian.

Dalam ruang yang sedemikian itulah kemudian industri pariwisata, dengan dukungan yang kuat dari kuasa pemerintah, mengambil hati manusia Bali. Perkembangan industri pariwisata Bali yang demikian pesat, yang artinya juga memiliki daya tawar kesejateraan hidup yang kuat terhadap orang Bali, terutama secara ekonomi, mulai menjadi objek baru bagi orang Bali dalam melakukan dialog kehidupan. Maka para pemuda di desa kemudian berbondong-bondong meninggalkan desa untuk menjadi pekerja – untuk tidak mengatakan buruh – pariwisata. Orang-orang yang punya tempat strategis untuk objek wisata memilih untuk menjualnya, dengan menyingkirkan kompleksitas sejarah, religi dan simbol yang lama melekat pada objek itu.

Sehingga kemudian pada suatu titik, industri pariwisata mampu menjadi ukuran nilai baru yang berbicara tentang kesejahteraan dan kedamaian sebagaimana yang sebelumnya terkandung dalam objek semacam binatang dan tumbuhan dalam kehidupan agraris. Banyak kemudian yang melakukan semacam "pemujaan" serta ritualisasi terhadap industri pariwisata. Saya curiga, jangan-jangan ada yang telah memposisikan pariwisata sebagai semacam "dharma" serta "bhakti" baru dalam hidupnya. "Dharma" dan "bhakti" yang bukan berorientasi pada iman agama, namun "iman" uang dan citra.

Melihat keadaan yang demikian, yang sepertinya akan berjalan dalam kurun waktu yang lama, mengingat sampai saat ini belum ada wacana yang banter tentang alternatif sumber pendapatan besar ekonomi Bali ke depan selain pariwisata, Bali sepertinya mesti membuat satu rerainan baru lagi: "Tumpek Pariwisata"! Rerainan ini bukan hanya dirayakan oleh orang Hindu Bali, namun juga orang luar yang terlibat – dan terutama memetik kesejahteraan – dalam industri pariwisata Bali.

Bukan hanya sebab itu "Tumpek Pariwisata" ini mesti dibuat. Sekarang di Bali berbagai perilaku, apalagi yang bercap tradisi, sebagian besar memiliki orientasi pariwisata. Yang umum adalah berbagai pertunjukan seni, lalu berbagai ritual adat dan keagamaan. Lihatlah juga ritual kremasi almarhum Tjokorda Gde Agung Suyasa, bangsawan Ubud itu, pertengahan Juli lalu. Di Bali, seakan-akan apa pun bisa dijual kepada turis.

Dalam menyikapi "Tumpek Pariwisata", orang Bali yang tidak ada sangkut pautnya dengan industri pariwisata, atau bahkan yang dirugikan atasnya, silakan jangan ikut merayakannya. Buat saja perayaan lain, semacam "ritual kecemasan" atau "upacara perlawanan" terhadap hegemoni industri pariwisata di Bali.

Jogja, Agustus-September 2008

0 komentar:

Posting Komentar