Tradisi yang Mencari Rumah di Jalanan


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Aku di jalanan,
maka aku ada.


BERIBU – bahkan mungkin berjuta – orang bisa menari Bali. Tapi, berapa yang bisa menarikan serta taksu-nya? (Mengadopsi perkataan Garin Nugroho dalam sebuah seminar di Yogyakarta: "Banyak orang yang bisa menari serimpi. Namun berapa yang bisa membawa mistiknya?")

Tradisi kehilangan kelanjutannya dalam konteks perubahan yang dibawa oleh generasi selanjutnya. Tradisi tidak diwariskan ke generasi selanjutnya, namun ditaklukkan dan diringkus untuk kemasan gaya hidup. Tradisi terancam kehilangan sejarahnya ketika politik identitas dikuasai gaya hidup. Demikian kata Afrizal Malna.

Banyak generasi mutakhir yang merasa mewarisi tradisi, namun sebenarnya hanya menguasai pada tataran teknis semata. Apalagi pewarisan itu dilakukan melalui sistem akademis yang sok menggunakan logika Barat, sehingga hal-hal yang bertentangan dengan logika ini dinafikan begitu saja. Hal ini menguntungkan di satu sisi. Di Bali misalnya, penguasaan terhadap tradisi, walau hanya dalam tataran teknis, adalah modal hidup yang cukup besar. Kekuatan-kekuatan yang tengah beroperasi di Bali, yang memiliki jaringan global, menghidupi tradisi yang demikian dengan semangat bisnis yang kuat.

Tradisi (Bali), ah, siapa yang merasa memilikinya sekarang? Semua orang Bali? Yang karena pengaruh gembar-gembor politik identitas (etnis-agama) terkejut dengan perubahan sosiokultural yang menekannya, kemudian mendadak bersikap memproteksi identitas diri, padahal tanpa sadar menjadi fundamentalis? Orang-orang yang pernah bersentuhan dan mempelajari tradisi Bali? Semua warga dunia? Karena globalisasi menghapus jarak ruang dan waktu yang dulu ada – sehingga kemudian orang California lebih lihai dan cerdas (!) menabuh gambelan Bali? Pengusaha pariwisata yang memang lebih sering menjual pernak-pernik tradisi Bali kepada wisatawan, seperti seorang petani yang menjual hasil panen lahannya sendiri? Atau cuma "orang-orang Bali" yang kini sudah malingga di mrajan atau sanggah?

Barangkali jawabannya adalah semua itu. Tapi kemudian siapa di antara semuanya benar-benar memiliki rumah untuk tradisi Bali dalam laku kehidupan sehari-harinya? Rumah yang bukan sekadar untuk berlindung dari cuaca atau singgah sebentar. Rumah yang benar-benar merupakan kompleksitas yang selalu memanggil untuk pulang. Rumah yang menjadi hulu sekaligus hilir pelakonan tradisi (baca: kehidupan). Rumah yang adalah sejarah tubuh pemiliknya.

Masalahnya sekarang tradisi tak (hanya) berada di rumahnya. Tradisi tidak lagi (cuma) di pura-pura, sanggar-sanggar tari, balé-balé banjar, ritual-ritual inisiasi, hari-hari raya, rerainan dan sebagainya ruang-ruang yang dulu menjadi rumah bagi tradisi. Juga tak lagi di tubuh-tubuh orang Bali yang dulu lebur dengan ruang-ruang itu dengan sublim. Secara fisik barangkali tradisi masih berada di ruang-ruang itu sampai sekarang, masih tampak lestari, tak kehilangan kemegahannya, bahkan kesakralannya.

Namun sejatinya, tradisi Bali kini tengah berada di jalanan! Dan jalanan itu lalu kita namai dengan kehidupan kontemporer.

Pergerakan tradisi di jalanan mempunyai kecepatan dan gaya yang berbeda. Ada yang jalan santai, berlari, tertatih, angkuh, angker, aéng, sempoyongan seperti orang mabuk, lenggak-lenggok karena jalanan baginya tak ubahnya catwalk, ada yang menjajali berbagai cara berjalan yang justru membuatnya sulit berjalan, ada yang tersungkur ketika baru memasuki jalan karena daya kejut jalanan menyerang jantungnya.

Di sana, di jalanan, praktik, intrik, politik, strategi diumbar. Kontestasi, promosi, negosiasi, lego digelar. Kepentingan, kepercayaan, kegembiraan, kepedihan, bahkan iman berseliweran. Kekacauan dan kedamaian seakan bisa melebur. Semuanya seakan ada di jalanan. Ya, karena memang ia disediakan sebagaimana sebuah pusat perbelanjaan serba ada yang dibangun untuk melayani nafsu konsumtif kita.

Di pinggir jalanan tumbuh ruang-ruang yang menawarkan rumah (baru) bagi tradisi. Rumah-rumah yang menjanjikan kehidupan – "yang lebih baik" – bagi tradisi ini dibangun oleh kekuatan-kekuatan besar dengan jaringan global yang kuat dan kompleks seperti industri pariwisata, di samping juga kekuatan-kekuatan lokal semacam pemerintah. Industri pariwisata dan pemerintah sebagai contoh rumah (baru) bagi tradisi menawarkan "kenyamanan" bagi tradisi, sebagaimana industri kompleks perumahan menawarkannya kepada para "tuna wisma".

Industri pariwisata menjamin kehidupan tradisi menjadi gemerlap, mewah, bisa kontes terus-menerus, kaya dan tentu saja berprestise tinggi. Tradisi di rumah industri pariwisata tidak perlu ribet dengan tetek bengek mistik dan taksu, tak perlu repot dengan pantangan-pantangan religi atau supranatural, tak usah lengkap genap dan berpanjang-panjang. Yang penting adalah kulit luar, performance yang eksotis dan memukau. Maka lahirlah kemudian performance (seni) tradisi yang gemebyar, singkat, menghibur dan mengutamakan kulit daripada isi.

Di sisi lain pemerintah menawarkan konsep tentang pelestarian tradisi dengan berbagai program (baca: proyek buat ngobyek). Di satu sisi konsep ini cuma menjadi retorika semata karena program yang formal dan jadi ajang ngobyek. Di sisi lain kantong-kantong (seni) tradisi memerlukan uang yang dikelola pemerintah untuk keberlanjutan kehidupannya. Tradisi kemudian menjadi salah satu media penyebar kuasa pemerintah. Lewat tradisi wibawa kuasa dikontestasikan. Tradisi di tangan pemerintah adalah "tradisi yang rapi", kehilangan keliaran dan daya imajinasi yang kadang memang di luar logika formal kekuasaan.

Di jalanan, tradisi kemudian tidak dihidupi oleh generasi pewaris yang independen. Ia tidak terlepas dari kekuatan-kekuatan yang beroperasi di jalanan. Tradisi tidak tercipta oleh kebutuhan akan aktualisasi diri generasi pewarisnya. Tradisi sedang mencari rumahnya di jalanan, dengan meninggalkan rumah lamanya yang rapuh. Tradisi jarang berusaha merekonstruksi rumah lamanya sehingga menjadi aktual dan memberi daya tawar yang kuat serta bersaing dengan jalanan beserta kekuatan-kekuatannya.

Tradisi mulai menemukan rumah barunya di jalanan. Pertanyaannya, adakah tradisi yang bergerak di jalanan itu mataksu? Mungkin jawabanya adalah ya: "taksu jalanan".

Jogja, Agustus 2008

2 komentar:

Anonim mengatakan...

waduh saya tersindir nih...hehe

baru bisa menarikan tapi belum mampu "menjiwai" dengan baik. sulit sekali..
butuh ketenangan batin yang amat tinggi..

DuDuGi mengatakan...

Lha spionnya keren banget hahaa..
i love bali so much
Nice article,mas

Posting Komentar