“Homo Pariwisatabaliensis”


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Spesies yang militan!

SEBUAH surat pembaca dari seorang masyarakat Badung di harian terbesar di Bali pada pertengahan November 2008 menyarankan suatu strategi tentang pembangunan Bali mutakhir. Penulis surat di antaranya menyarankan tentang sistem keamanan Bali yang harus melibatkan seluruh masyarakat yang ada di Bali, dengan memberikan insentif memadai bagi masyarakat pemberi informasi yang falid kepada pihak berwajib. Selanjutnya ia menulis tentang manusia Bali, budaya Bali serta pariwisata yang merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dan yang paling penting adalah pembuka surat yang merupakan muara dari seluruh sarannya, yaitu Bali sebagai bangunan pariwisata yang kokoh dan tegar.

Apa yang bisa dibaca dari surat pembaca itu di antaranya adalah bahwa pengukuhan terhadap entitas Bali sebagai suatu daerah industri pariwisata sehingga dikhawatirkan entitas itu akan rapuh jika manusia Bali, budaya Bali dan pariwisata dicerai-beraikan. Dengan demikian, seluruh orang yang ada di Bali harus turut serta aktif menjaga keutuhan entitas tersebut dengan tindakan nyata, misalnya dengan melaporkan masalah keamanan seperti keberadaan orang mencurigakan. Atas peran serta aktif tersebut, masyarakat akan diberikan imbalan yang pantas dalam bentuk material tentu saja.

Memang benar bahwa manusia Bali, budaya Bali dan pariwisata adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan – atau lebih tepatnya, jangan sampai dipisahkan karena payuk jakan bisa buung makedus. Namun tentu saja ini bagi orang yang menikmati buah dari pohon besar pariwisata Bali. Orang Bali – apalagi orang luar Bali – yang sama sekali tidak memetik buah itu, baik karena pohonnya yang tak terjangkau atau karena sengaja memilih untuk tak memakan buah dari pohon itu, barangkali akan memandang hal terakhir sebagai sesuatu yang terpisah sama sekali atau justru harus diceraikan jika ada yang hendak menyatukannya.

Dapat dipahami pemikiran orang-orang Bali yang memetik buah pariwisata sehingga mereka memberi sokongan maksimal terhadap pohon kehidupannya itu. Mereka adalah orang-orang yang merasa telah dihidupi oleh pariwisata, baik secara ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Bukan cuma sebentuk kehidupan yang layak, namun mereka telah mendapat prestise, gengsi dan gaya hidup yang lebih. Mereka adalah orang-orang yang telah merasa diangkat harkat dan martabatnya oleh eksistensi pariwisata. Mereka adalah orang-orang yang menikmati eforia citra Bali dalam konstruksi turistik: unik, nyeni, indah, ramah, eksotis, religius. Mereka adalah orang-orang yang memiliki bayangan tentang identitas Bali sebagaimana yang dicitrakan oleh industri paiwisata. Mereka adalah para Homo pariwisatabaliensis – istilah penunjuk spesies yang saya gubah sendiri, mengadopsi istilah bidang arkeologi.

Homo pariwisatabaliensis termasuk dalam kelompok spesies yang dirundung kepanikan luar biasa ketika bom meledak di Kuta, 12 Oktober 2002. Mereka kemudian menanam kebencian yang mendalam terhadap teroris. Demikian mendalam sehingga kebencian itu juga diarahkan pada latar belakang sosioreligi orang-orang yang diklaim teroris itu. Dan tentu saja mereka turut bersorak di atas kematian Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra yang (konon) telah dieksekusi oleh tiga regu tembak di Nirbaya.

Pariwisata Bali sebagai sistem yang dibangun oleh kapitalisme global dan diberikan jalan yang amat mulus oleh rezim Orde Baru, dengan kepentingan ekonomi dan kuasa yang nyata, memberikan bujuk rayu dan buaian yang serasa nyata pula bagi orang Bali sebagai mahluk yang menghidupi dan dihidupi budaya Bali. Sistem ini bekerja secara terstruktur: bujuk rayu dan pujian berlebih di tahap awal, lalu janji kemakmuran dan pelestarian budaya, keuntungan material – yang tak seberapa dibandingkan hasil keuntungan sebenarnya –, pencokolan doktrin-doktrin kapitalis yang dengan lihai menyelusup ke dalam ruang konsep kearifan lokal, pendidikan ke arah materialistis dan semangat industralisme lainnya, sehingga terciptalah karakter spesies Homo pariwisatabaliensis yang diinginkan, salah satunya militansi yang luar biasa terhadap kuasa yang tak tersadari. Ya, tak tersadari karena para Homo pariwisatabaliensis selalu dibuai dalam setiap langkahnya.

Keterkuasaan dan berbagai keuntungan yang diperoleh Homo pariwisatabaliensis itu seakan sah dan halal ketika kuasa yang lain, yaitu pemerintah, melegalkan bahkan menjadikannya bangunan agung sumber kemakmuran. Ini barangkali karena bagi orang Hindu Bali, sebagian besar Homo pariwisatabaliensis itu, mempercayai bahwa pemerintah adalah guru wisesa – salah satu guru dalam ajaran Catur Guru, di mana satu yang lainnya adalah Sang Hyang Widhi Wasa. Di sini tampak petunjuk bahwa pemerintah masih dipercaya sebagai pembawa kebenaran bagi masyarakat (baca: orang Hindu Bali).

Militansi para Homo pariwisatabaliensis terhadap pariwisata Bali kemudian dengan mudah dibaca sebagai militansi terhadap kuasa kapitalisme (Barat) dan pemerintah (terutama pusat), yang sekali lagi tak tersadari. Pada titik tertentu kondisi mutakhir, orang Bali yang telah masuk menjadi spesies Homo pariwisatabaliensis mengalami “kekeliruan” atau paling tidak kegamangan dalam mendefinisikan identitas dan entitas dirinya dalam lingkungan sosiokultural, sebagaimana yang terbaca dalam surat pembaca di atas. Mungkin akan lebih jelas dan tangkas jika mereka mengakui identitasnya sebagai apa yang saya namakan sebagai Homo pariwisatabaliensis.

Sejatinya, pandangan para Homo pariwisatabaliensis tentang manusia Bali, budaya Bali serta pariwisata yang tak dapat dipisahkan itu adalah hasil pemikiran yang penuh teriak eforia hingga memejamkan mata dan membisingi telinga, sehingga trance akan keberadaan dirinya sendiri. Ia tidak sadar bahwa sebenarnya industri pariwisata (di) Bali sekarang dapat bergerak dengan mulus tanpa orang dan budaya Bali! Pariwisata Bali mutakhir, dengan agen-agen kapitalisme global dan strategi konstruksi yang tangguh sejak awal, telah mencapai tingkat produksi dan kinerja yang dapat menegasi bahkan menafikan orang dan budaya Bali. Ia sudah mampu menciptakan produk yang mandiri, baik itu infrastruktur maupun barang dagangan, yang sudah bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan budaya tradisi Bali, walaupun sebelumnya merupakan adopsi dan tiruan produk budaya Bali tradisi. Ia juga telah dijalankan dan dikendalikan dengan brilian oleh orang-orang bukan Bali, sehingga mungkin saja spesies Homo pariwisatabaliensis dapat dipunahkan hanya dengan sekali click saja.

Bersiaplah!


Moding, November 2008

“Tumpek Pariwisata”


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Jangan-jangan ada yang telah memposisikan pariwisata
sebagai "dharma" serta "bhakti" baru dalam hidupnya.


DULU orang-orang di kampung saya, jika hendak menebang pohon untuk kebutuhan tertentu, ia akan menanam benih pohon yang sama di sampingnya berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum pohon tadi ditebang. Dulu bapak saya merayakan Tumpek Wariga dengan menanam berbagai bibit tanaman baru di kebun setelah ritual. Betapa, filosofi dan praktik yang berjalan beriringan!

Sekarang, saya jadi ragu .... Benarkah Bali punya Tumpek Wariga? Atau Tumpek Kandang? Benarkah Bali punya Tri Hita Karana? Benarkah Bali punya Dewi Sri? Benarkah Bali punya Pura Ulun Suwi dan Pura Ulun Danu? Benarkah Bali punya banten? Benarkah Bali punya Bali?

Orang pasti akan menjawab, "Tentu saja punya!" Ya, punya. Tapi apa yang ada di dalam kepunyaan ini? Bagaimana Bali mendefinisikan kepunyaannya ini? Kepemilikan konsep, kebendaan, perilaku, sejarah, warisan, ekonomi, iman, simbol, nilai, makna? Atau sekadar gaya?

Yang jelas, sekarang kita tengah menyambut kehancuran lingkungan Bali. Saya tidak akan memberikan contoh kasus mana saja yang dimaksud karena sudah terlalu banyak berita tentangnya. Lagian saat ini kita begitu mudah menemukannya di sekeliling kita, bahkan di halaman rumah kita sendiri.

Banyak orang, termasuk saya, menyalahkan pariwisata sebagai tokoh besar dalam perusakan ini – dan tentu masih ada tokoh-tokoh lainnya. Industri pariwisata Bali, kita tahu, begitu jor-joran sehingga pada suatu titik mengalahkan kepentingan demi kepentingan, eksistensi demi eksistensi, bahkan iman demi iman orang-orang yang sebelumnya begitu getol memelihara hubungan ekologis dan religius dengan suatu objek yang kemudian dijadikan lahan atau barang dagangan industri pariwisata. Sebutlah misalnya sungai, pantai, tanah, sawah, pura, gunung, bahkan pekarangan rumah.

Objek-objek tersebut merupakan satu kesatuan hubungan hidup dengan orang Hindu Bali, sebagaimana yang tertuang dalam konsep Tri Hita Karana. Hubungan manusia dengan objek-objek itu adalah hubungan kehidupan lahir dan batin yang kesemuanya merupakan suatu kompleksitas untuk menuju kesejahteraan dan kedamaian hidup. Ini adalah hubungan yang saling memelihara.

Perilaku-perilaku manusia (Hindu Bali) dalam memberikan respon terhadap hubungan ini kemudian melahirkan – di antaranya – berbagai upacara-upacara yang terkonsep baik secara waktu, ruang, maupun situasinya. Ada hubungan spiritual dengan tumbuh-tumbuhan yang terefleksikan dalam ritual rerainan Tumpek Wariga. Demikian pula dengan bangsa binatang pada Tumpek Kandang, dan sebagainya. Hubungan parktis yang lahiriah lebih banyak terdapat dalam keseharian.

Bagi saya, rerainan-rerainan itu beserta ritual-ritual yang diberlakukan padanya merupakan reaksi manusia Hindu Bali terhadap hal-hal yang memberikan aksi positif terhadap kehidupannya. Aksi positif ini beserta reaksi yang diberikan manusia Hindu Bali merupakan suatu proses untuk melakoni hidup dan kehidupan yang sejahtera dan damai, baik secara ekonomi, sosial, budaya dan religi. Contoh-contoh mudah dapat dilihat ketika orang Hindu Bali yang berprofesi pedagang mengadakan pemujaan di Pura Melanting, nelayan di Pura Segara, dan sebagainya.

Ketika perubahan terjadi di Bali, dari tradisi ke modern, dari agraris ke industri, dari ndesa ke urban, objek-objek yang sebelumnya lekat dengan tradisi, agraris, ndesa pun ikut berubah, atau bahkan hilang dan tergantikan dengan yang modern, industri, urban. Terjadi perubahan pula pada orientasi nilai kesejahteraan dan kedamaian.

Dalam ruang yang sedemikian itulah kemudian industri pariwisata, dengan dukungan yang kuat dari kuasa pemerintah, mengambil hati manusia Bali. Perkembangan industri pariwisata Bali yang demikian pesat, yang artinya juga memiliki daya tawar kesejateraan hidup yang kuat terhadap orang Bali, terutama secara ekonomi, mulai menjadi objek baru bagi orang Bali dalam melakukan dialog kehidupan. Maka para pemuda di desa kemudian berbondong-bondong meninggalkan desa untuk menjadi pekerja – untuk tidak mengatakan buruh – pariwisata. Orang-orang yang punya tempat strategis untuk objek wisata memilih untuk menjualnya, dengan menyingkirkan kompleksitas sejarah, religi dan simbol yang lama melekat pada objek itu.

Sehingga kemudian pada suatu titik, industri pariwisata mampu menjadi ukuran nilai baru yang berbicara tentang kesejahteraan dan kedamaian sebagaimana yang sebelumnya terkandung dalam objek semacam binatang dan tumbuhan dalam kehidupan agraris. Banyak kemudian yang melakukan semacam "pemujaan" serta ritualisasi terhadap industri pariwisata. Saya curiga, jangan-jangan ada yang telah memposisikan pariwisata sebagai semacam "dharma" serta "bhakti" baru dalam hidupnya. "Dharma" dan "bhakti" yang bukan berorientasi pada iman agama, namun "iman" uang dan citra.

Melihat keadaan yang demikian, yang sepertinya akan berjalan dalam kurun waktu yang lama, mengingat sampai saat ini belum ada wacana yang banter tentang alternatif sumber pendapatan besar ekonomi Bali ke depan selain pariwisata, Bali sepertinya mesti membuat satu rerainan baru lagi: "Tumpek Pariwisata"! Rerainan ini bukan hanya dirayakan oleh orang Hindu Bali, namun juga orang luar yang terlibat – dan terutama memetik kesejahteraan – dalam industri pariwisata Bali.

Bukan hanya sebab itu "Tumpek Pariwisata" ini mesti dibuat. Sekarang di Bali berbagai perilaku, apalagi yang bercap tradisi, sebagian besar memiliki orientasi pariwisata. Yang umum adalah berbagai pertunjukan seni, lalu berbagai ritual adat dan keagamaan. Lihatlah juga ritual kremasi almarhum Tjokorda Gde Agung Suyasa, bangsawan Ubud itu, pertengahan Juli lalu. Di Bali, seakan-akan apa pun bisa dijual kepada turis.

Dalam menyikapi "Tumpek Pariwisata", orang Bali yang tidak ada sangkut pautnya dengan industri pariwisata, atau bahkan yang dirugikan atasnya, silakan jangan ikut merayakannya. Buat saja perayaan lain, semacam "ritual kecemasan" atau "upacara perlawanan" terhadap hegemoni industri pariwisata di Bali.

Jogja, Agustus-September 2008

Tradisi yang Mencari Rumah di Jalanan


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Aku di jalanan,
maka aku ada.


BERIBU – bahkan mungkin berjuta – orang bisa menari Bali. Tapi, berapa yang bisa menarikan serta taksu-nya? (Mengadopsi perkataan Garin Nugroho dalam sebuah seminar di Yogyakarta: "Banyak orang yang bisa menari serimpi. Namun berapa yang bisa membawa mistiknya?")

Tradisi kehilangan kelanjutannya dalam konteks perubahan yang dibawa oleh generasi selanjutnya. Tradisi tidak diwariskan ke generasi selanjutnya, namun ditaklukkan dan diringkus untuk kemasan gaya hidup. Tradisi terancam kehilangan sejarahnya ketika politik identitas dikuasai gaya hidup. Demikian kata Afrizal Malna.

Banyak generasi mutakhir yang merasa mewarisi tradisi, namun sebenarnya hanya menguasai pada tataran teknis semata. Apalagi pewarisan itu dilakukan melalui sistem akademis yang sok menggunakan logika Barat, sehingga hal-hal yang bertentangan dengan logika ini dinafikan begitu saja. Hal ini menguntungkan di satu sisi. Di Bali misalnya, penguasaan terhadap tradisi, walau hanya dalam tataran teknis, adalah modal hidup yang cukup besar. Kekuatan-kekuatan yang tengah beroperasi di Bali, yang memiliki jaringan global, menghidupi tradisi yang demikian dengan semangat bisnis yang kuat.

Tradisi (Bali), ah, siapa yang merasa memilikinya sekarang? Semua orang Bali? Yang karena pengaruh gembar-gembor politik identitas (etnis-agama) terkejut dengan perubahan sosiokultural yang menekannya, kemudian mendadak bersikap memproteksi identitas diri, padahal tanpa sadar menjadi fundamentalis? Orang-orang yang pernah bersentuhan dan mempelajari tradisi Bali? Semua warga dunia? Karena globalisasi menghapus jarak ruang dan waktu yang dulu ada – sehingga kemudian orang California lebih lihai dan cerdas (!) menabuh gambelan Bali? Pengusaha pariwisata yang memang lebih sering menjual pernak-pernik tradisi Bali kepada wisatawan, seperti seorang petani yang menjual hasil panen lahannya sendiri? Atau cuma "orang-orang Bali" yang kini sudah malingga di mrajan atau sanggah?

Barangkali jawabannya adalah semua itu. Tapi kemudian siapa di antara semuanya benar-benar memiliki rumah untuk tradisi Bali dalam laku kehidupan sehari-harinya? Rumah yang bukan sekadar untuk berlindung dari cuaca atau singgah sebentar. Rumah yang benar-benar merupakan kompleksitas yang selalu memanggil untuk pulang. Rumah yang menjadi hulu sekaligus hilir pelakonan tradisi (baca: kehidupan). Rumah yang adalah sejarah tubuh pemiliknya.

Masalahnya sekarang tradisi tak (hanya) berada di rumahnya. Tradisi tidak lagi (cuma) di pura-pura, sanggar-sanggar tari, balé-balé banjar, ritual-ritual inisiasi, hari-hari raya, rerainan dan sebagainya ruang-ruang yang dulu menjadi rumah bagi tradisi. Juga tak lagi di tubuh-tubuh orang Bali yang dulu lebur dengan ruang-ruang itu dengan sublim. Secara fisik barangkali tradisi masih berada di ruang-ruang itu sampai sekarang, masih tampak lestari, tak kehilangan kemegahannya, bahkan kesakralannya.

Namun sejatinya, tradisi Bali kini tengah berada di jalanan! Dan jalanan itu lalu kita namai dengan kehidupan kontemporer.

Pergerakan tradisi di jalanan mempunyai kecepatan dan gaya yang berbeda. Ada yang jalan santai, berlari, tertatih, angkuh, angker, aéng, sempoyongan seperti orang mabuk, lenggak-lenggok karena jalanan baginya tak ubahnya catwalk, ada yang menjajali berbagai cara berjalan yang justru membuatnya sulit berjalan, ada yang tersungkur ketika baru memasuki jalan karena daya kejut jalanan menyerang jantungnya.

Di sana, di jalanan, praktik, intrik, politik, strategi diumbar. Kontestasi, promosi, negosiasi, lego digelar. Kepentingan, kepercayaan, kegembiraan, kepedihan, bahkan iman berseliweran. Kekacauan dan kedamaian seakan bisa melebur. Semuanya seakan ada di jalanan. Ya, karena memang ia disediakan sebagaimana sebuah pusat perbelanjaan serba ada yang dibangun untuk melayani nafsu konsumtif kita.

Di pinggir jalanan tumbuh ruang-ruang yang menawarkan rumah (baru) bagi tradisi. Rumah-rumah yang menjanjikan kehidupan – "yang lebih baik" – bagi tradisi ini dibangun oleh kekuatan-kekuatan besar dengan jaringan global yang kuat dan kompleks seperti industri pariwisata, di samping juga kekuatan-kekuatan lokal semacam pemerintah. Industri pariwisata dan pemerintah sebagai contoh rumah (baru) bagi tradisi menawarkan "kenyamanan" bagi tradisi, sebagaimana industri kompleks perumahan menawarkannya kepada para "tuna wisma".

Industri pariwisata menjamin kehidupan tradisi menjadi gemerlap, mewah, bisa kontes terus-menerus, kaya dan tentu saja berprestise tinggi. Tradisi di rumah industri pariwisata tidak perlu ribet dengan tetek bengek mistik dan taksu, tak perlu repot dengan pantangan-pantangan religi atau supranatural, tak usah lengkap genap dan berpanjang-panjang. Yang penting adalah kulit luar, performance yang eksotis dan memukau. Maka lahirlah kemudian performance (seni) tradisi yang gemebyar, singkat, menghibur dan mengutamakan kulit daripada isi.

Di sisi lain pemerintah menawarkan konsep tentang pelestarian tradisi dengan berbagai program (baca: proyek buat ngobyek). Di satu sisi konsep ini cuma menjadi retorika semata karena program yang formal dan jadi ajang ngobyek. Di sisi lain kantong-kantong (seni) tradisi memerlukan uang yang dikelola pemerintah untuk keberlanjutan kehidupannya. Tradisi kemudian menjadi salah satu media penyebar kuasa pemerintah. Lewat tradisi wibawa kuasa dikontestasikan. Tradisi di tangan pemerintah adalah "tradisi yang rapi", kehilangan keliaran dan daya imajinasi yang kadang memang di luar logika formal kekuasaan.

Di jalanan, tradisi kemudian tidak dihidupi oleh generasi pewaris yang independen. Ia tidak terlepas dari kekuatan-kekuatan yang beroperasi di jalanan. Tradisi tidak tercipta oleh kebutuhan akan aktualisasi diri generasi pewarisnya. Tradisi sedang mencari rumahnya di jalanan, dengan meninggalkan rumah lamanya yang rapuh. Tradisi jarang berusaha merekonstruksi rumah lamanya sehingga menjadi aktual dan memberi daya tawar yang kuat serta bersaing dengan jalanan beserta kekuatan-kekuatannya.

Tradisi mulai menemukan rumah barunya di jalanan. Pertanyaannya, adakah tradisi yang bergerak di jalanan itu mataksu? Mungkin jawabanya adalah ya: "taksu jalanan".

Jogja, Agustus 2008

Di Balik Topeng-topeng Bali


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Bukalah topengmu,
maka tak kubeli pariwisatamu.

Topeng-topeng itu menari, magis dan eksotis. Topeng-topeng itu mendekam di balik kain saput, misterius sekaligus sensasional. Topeng-topeng itu berdiam di tempat-tempat sakral. Topeng-topeng itu menghuni pasar. Topeng-topeng itu mengumbar lawakan di pentas seni rakyat. Topeng-topeng itu menjadi guide para wisatawan. Topeng-topeng itu menjual hiburan. Topeng-topeng itu bermain politik. Topeng-topeng itu menyicil prestise. Topeng-topeng itu berkonsolidasi. Topeng-topeng itu praktik intrik. Topeng-topeng itu membangun kuasa. Topeng-topeng itu adalah wajah Bali. Semua yang ada di Bali.

SUATU malam seorang pragina topeng menari di sebuah hotel, diiringi tabuh gong, ditonton para wisatawan. Ia benar-benar menyuguhkan sebuah pertunjukan yang memukau sekaligus menawar kehausan wisatawan akan hiburan.

Tapi ia tidak sedang “menari sendiri” di sana. Di hotel – dalam konteks konstruksi besar pariwisata Bali – itu ia tidak murni digerakkan oleh energi kreasi seni yang pada satu sisinya memang bertujuan untuk menyuguhkan tontonan yang menghibur lalu untuk mendapatkan sedikit upah peluh. Ia sebenarnya tengah digerakkan oleh tenaga-tenaga yang jauh lebih kompleks, demikian besar, ruwet dan kerap kontradiktif. Kekauatan yang salah satu ikonnya adalah hotel tempatnya menari.

Dalam situasi yang demikian, energi kreasi seni, beserta kompleksitas spirit dan teknisnya, yang semestinya menggerakkan seluruh tubuh sang pragina untuk menari, mengalami degradasi nilai dan kemudian makna. Bentuk tarian topeng, termasuk berbagai pernik yang terindera ketika sang pragina menari menjadi simbol kekuatan besar sebagai hasil kontruksi penuh kontradiksi dan politik dari pariwisata.

Dunia pariwisata adalah dunia perdagangan, bisnis ekonomi, juga politik dan lahan perebutan kuasa dan prestise. Uang adalah tujuan di sini. Sehingga semua yang mau ambil bagian harus mampu “beradaptasi” dengan tujuan itu, kalau mau menuai hasil. Dan sebagai sumber utama uang tentu saja adalah para pembeli, para pelancong. Pembeli hanya akan membeli sesuatu yang diinginkannya, yang dibutuhkannya, yang menarik konstruksi seleranya. Maka “adaptasi” dimaksud adalah suatu pelayanan terhadap segala sesuatu yang dikehendaki oleh pembeli. Ini adalah hukum industri jasa yang sudah jamak, saya kira.

Banyak yang mengklaim – termasuk saya, barangkali – bahwa “adaptasi” semacam itu secara tidak langsung adalah pengikisan atau pendegradasian atribut-atribut, nilai-nilai, makna-makna juga bentuk-bentuk yang sebelumnya menjadi identitas atau bahkan iman bagi sesuatu yang diperdagangkan dalam industri pariwisata, seperti kesenian misalnya. Hal ini juga menjadi sorotan sebuah forum yang menamakan dirinya Kongres Kebudayaan Bali I di Agung Room Inna The Grand Bali Beach, Sanur, 14-16 Juni 2008. “Kenyataan menunjukkan, perkembangan pariwisata lebih menawarkan kepentingan pariwisata daripada kepentingan kebudayaan Bali sehingga menimbulkan krisis lingkungan, identitas dan krisis nilai-nilai budaya Bali. Untuk itu, semua komponen masyarakat Bali hendaknya kembali menguatkan identitas dirinya.” Demikian salah satu rekomendasi forum ini sebagaimana dilansir http://www.baliprov.go.id.

Benar saja ketika Putu Wijaya mensinyalir bahwa selama ini, sudah jatuh vonis, seakan-akan Bali hanya artis penghibur, bukan penyimak kehidupan. Menurutnya, ini adalah sebuah kesalahan yang memerlukan sebuah tindakan dan perjuangan agar terbukti dan bisa di terima oleh orang Bali sendiri. Bahwa Bali bukan hanya “menari”, tetapi juga berpikir.

Kenyataan empirik tersebut memang menjadi konsekuensi logis dari konstruksi industri “pariwisata budaya” yang kini menjadi lumbung besar Bali. Masalahnya adalah, apakah para desainer konstruksi ini dahulu menyadari akan konsekuensi ini, sehingga telah menyiapkan konstruksi antisipasinya? Jangan-jangan tidak tersadari? Atau mengambil langkah untuk menafikannya karena orientasinya memang pariwisata doang, tanpa keinginan untuk memelihara iman dasar barang dagangannya?

Kebudayaan – dalam arti sempit – sebagai barang dagangan industri pariwisata Bali saat ini mejadi kekaburan yang patut diprihatinkan. Secara wadag barangkali ia masih tampak demikian, sebagaimana awalnya, anggun, eksotis, magis, sakral, seakan tak terjadi apa-apa terhadapnya, terhadap jiwanya yang menggerakkan wadagnya. Bahkan, dengan narasi kuat yang dikonstruksi untuk pembangunan citra, seakan-akan ia tengah mengalami perkembangan yang demikian pesat yang positif.

Namun kita tidak tahu iman semacam apa yang ada di sebaliknya, bahkan untuk sajian-sajian seni pertunjukan yang ditujukan untuk ritual sekalipun, karena sekarang banyak yang ingin sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui. Sajian pertunjukan ritual sekaligus dijual kepada para wisatawan.

Kebudayaan – sekali lagi, dalam arti sempit – yang saya simbolkan sebagai topeng – maksudnya topeng-topeng yang lahir dari ranah seni pertunjukan tradisi Bali – bukan lagi menjadi kebudayaan yang beriman terhadap kebudayaan itu sendiri. Ia telah memiliki iman yang demikian kompleks dan kontradiktif. Iman ini adalah kumpulan kekuatan yang berada di baliknya, sebut saja di antaranya adalah pebisnis pariwisata, pemerintah, broker, kapitalisme, globalisme dan sedikit iman awal kebudayaan. Kekuatan-kekuatan inilah yang mengkonstruksi citra yang menunjukkan seakan-akan kebudayaan Bali tengah mengalami perkembangan yang demikian pesat dan positif.

Kekaburan kebudayaan Bali semacam inilah yang oleh Kongres Kebudayaan Bali I disebut “menimbulkan krisis lingkungan, identitas dan krisis nilai-nilai budaya Bali”. Namun forum ini ternyata agak keliru ketika memberikan solusi bahwa, “Untuk itu, semua komponen masyarakat Bali hendaknya kembali menguatkan identitas dirinya.” Yang ditekankan forum ini adalah masyarakat, suatu subjek pemilik kebudayaan yang sebenarnya dalam kasus ini adalah “korban”. Dengan solusi yang demikian, masyarakat diberikan beban ganda: hidup sebagai “korban” dan mesti mengatasi status tersebut sendirian. Yang ditekankan bukannya kekuatan-kekuatan yang berada di balik topeng-topeng kebudayaan Bali kini, yang semestinya memiliki orientasi utama kepada kebudayaan, bukan kepada pariwisatanya.

Hal tersebut juga tampak dalam tujuan pengadaan forum, yaitu “mengembangkan dialog budaya secara lokal, nasional dan internasional untuk membangkitkan kembali kesadaran, empati, dan apresiasi para budayawan terhadap kebudayaan Bali sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia dan dunia”. Bukankah dalam keadaan hidup kebudayaan Bali mutakhir, dalam konteksnya dengan industri “priwisata budaya”, yang perlu dimunculkan kesadaran, empati dan apresiasinya terhadap kebudayaan, adalah – kembali – kekuatan-kekuatan yang berada di balik topeng-topeng kebudayaan Bali kini?

Jogja, Agustus 2008

Jepun


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Keharuman nan eksotis
dari kwangén 
hingga tongos meju!

DIGUYURI gerimis, seorang perempuan tua memunguti jejatuhan bunga jepun (kamboja), lalu mewadahinya dengan tas kresek warna hitam. Ia ditolong hujan karena guyuran air dari langit itu menggugurkan lebih banyak bunga. Awalnya saya kira bunga-bunga jepun itu digunakan untuk banten. Tapi saya ragu karena bunga yang sudah kecoklatan pun dipungutnya serta. Usut punya usut, bunga-bunga itu akan dijemur hingga kering dan dijual kepada para pengrajin dupa. Harganya lumayan, bisa mencapai Rp. 10.000,- sampai Rp. 15.000,- per kilogram.

Jepun memang punya prospek bisnis yang besar. Bukan hanya bunganya yang masih segar saja yang punya nilai ekonomi, yang sudah kering juga. Apalagi pohonnya, wah, saya sering terkejut-kejut mendengar tetangga saya menjual pohon jepun yang lumayan berumur dengan harga jutaan. Bunga dan daun jepun juga menjadi inspirasi desain berbagai produk kerajinan seperti vas bunga, keramik, lukisan atau pernik-pernik hiasan lainnya.

Prospek bisnis yang dicapai jepun barangkali tidak bisa dilepaskan dari pencitraannya dalam industri pariwisata Bali. Entahlah, siapa yang pertama kali mencitrakannya. Yang jelas, jepun – terutama bunganya – telah terkonstruksi sebagai salah satu ikon Bali di mata dunia, di samping sekian banyak ikon yang digunakan untuk mengidentifikasi Bali – terutama untuk menunjuk sisi eksotika. Di dunia industri pariwisata, jepun menempati posisi-posisi pengindah, penambah eksotis, berbagai sudut eksterior maupun interior villa, hotel, bungalow, juga di meja makan restoran, spa, kolam renang, bahkan toilet. Para turis juga pasti lebih merasakan eksotika bunga jepun ketika ia dikalungi rangkaian bunga ini atau ketika merasakannya terselip di kuping.

Secara otomatis semuanya mendongkrak popularitas jepun sebagai ikon Bali. Maka kemudian, jepun adalah Bali. Melihat jepun, dunia digiring ingatannya kepada Bali – bukan kuburan-kuburan di Jawa yang memang dipenuhi pohon jepun. Karakteristik bunga jepun adalah karakteristik Bali: indah, eksotis, harum, segar, sakral dan sebagainya.

Sebagai ikon Bali, posisi jepun tidak hanya berhenti pada penyaji eksotika semata. Ketika popularitasnya sebagai ikon Bali sudah mapan, ia kemudian dikonstruksi secara sengaja atau tidak – salah satunya – untuk memikul sebuah ide besar: spirit Bali. Ia seakan adalah metafora dari kosmos Bali, baik secara fisik maupun kejiwaan. Dengan demikian jepun mampu berbicara kepada dunia tentang kosmos Bali, sehingga mampu menarik empati serta simpati dunia. Lihatlah ketika Bali dianggap goyah karena ledakan bom (walaupun anggapan ini sangat lemah dan gegabah karena tidak keseluruhan Bali merasakan kehancuran akibat ledakan bom, bahkan sampai perlu diselenggarakan ritual Pamarisudha Karipubhaya segala – barangkali ini hanya konstruksi wacana dunia industri pariwisata semata), ada sebuah gerakan yang bertitel Bali for the World yang konon bertujuan untuk mengembalikan situasi Bali setelah ledakan bom. Sehelai bunga jepun nangkring pada logo titel gerakan ini, ikut menarik kepedulian dan dukungan dunia dalam mengembalikan Bali seperti sebelum ledakan bom.

Di samping itu, popularitas jepun juga dimanfaatkan sebagai semacam "ikon keberuntungan". Banyak yang menggunakannya sebagai penanda atau nama sesuatu untuk menciptakan daya tarik dari sesuatu itu. Lihatlah begitu banyak badan usaha, mulai dari toko, agen travel, hotel, villa, bongalow, spa, resort, restoran, art shop, dan masih banyak lagi yang menggunakan jepun sebagai namanya.

Terangkatnya jepun sebagai ikon Bali maupun prospeknya dalam segi bisnis di luar pariwisata sepertinya juga menyertakan pertimbangan kualitas jepun sendiri. Dari segi kebentukan, bunga jepun sebenarnya sangat sederhana: tidak berbeda dengan bentuk stereotip bunga, lima helai warna putih dengan sedikit gradasi kuning, tanpa putik maupun benang sari. Namun jumlah helai mahkota bunga jepun yang umumnya lima itu memberikan keindahan tersendiri – konon yang ganjil itu indah. Masalah aroma, bunga jepun memang khas. Kesegaran bunga jepun yang tidak tahan lama juga memunculkan daya tarik tersendiri – ingat, banyak hal yang memiliki sifat kesementaraan atau kesekejapan menjadi unik dan diburu.

Pohon jepun juga memiliki bentuk yang khas dan lumayan unik. Lekukan-lekukan yang tercipta pada batang pohon jepun menciptakan garis-garis lengkung yang cukup dinamis, tidak kaku, namun terkesan sangat kokoh ketika didukung oleh bentuk serta teksturnya. Beberapa pematung juga mengakui bahwa kayu jepun memiliki bentuk yang menarik. Keunggulan pohon atau kayu jepun juga didukung oleh pertumbuhannya yang lamban sehingga mendukung kesan kelangkaannya.

Menurut sebuah sumber, jepun dikatakan memiliki nilai filosofi tersendiri jika dikaitkan dengan budaya Hindu Bali. Jepun berbunga pada sasih kartika atau sasih kapat, sebuah hitungan bulan dalam kalender Bali yang dianggap sebagai bulan yang baik. Bunga jepun secara filosofi diartikan sebagai bunga yang membawa pencerahan. Ini barangkali yang membuat bunga jepun menjadi salah satu jenis bunga yang baik untuk sarana upacara.

Berbicara tentang upacara, jepun pada awalnya barangkali bisa dilihat dari keberadaannya yang tidak bisa dipisahkan dari ritual manusia Hindu Bali. Pohon jepun banyak ditemukan di halaman pura, sebuah posisi yang secara praktis memudahkan umat memperoleh bunganya jika hendak sembahyang di pura itu. Bunga jepun juga kita temukan menghiasi gelungan serta rambut para penari Bali, atau berbagai tata rias tardisional Bali. Lalu bunga jepun menghias berbagai pernik industri pariwisata, seperti kamar, front office, lobi, meja makan, hingga toilet. Betapa, jepun menempati posisi yang lintas ruang, dari yang sakral hingga profan, dari tempat sembahyang hingga tongos meju!

Jepun memang tidak lagi hanya "milik" Bali. Ia telah menjadi milik dunia – walau tetap untuk mengidentifikasi Bali. Masalah "milik" ini bukan saya maksudkan untuk memperkarakan hal kepemilikan yang lebih berasosiasi kekolotan atau fundamental. Saya lebih ingin menunjukkan bahwa jepun telah menempati posisi yang mengglobal, menjadi milik semua orang, sebagaimana Coca Cola, KFC, McDonald’s, atau sebagaimana yang tersirat dalam titel gerakan Bali for the Wolrd yang saya singgung di atas. Dan konon, jepun memang bukan tanaman asli Indonesia. Ia berasal dari Amerika Tengah, seperti Equador, Colombia, Cuba, Venezia dan Mexico.

Posisi jepun yang telah menjadi milik semua orang – katakanlah sebelumnya ia adalah milik Bali – tentu tidak lepas dari timbulnya berbagai konsekuensi serta ekses negatif bagi Bali sendiri, sehingga tidak menutup kemungkinan melahirkan suatu ironi bagi manusia-manusia Bali tertentu. Mengenai hal ini, Putu Fajar Arcana dalam sebuah cerpennya menggunakan bunga jepun sebagai metafora yang apik untuk mengungkap sisi ironi manusia Bali yang muncul akibat industri pariwisata.

Jogja, Desember 2007

Dari “Taksu” Tanah ke “Taksu” Parfum


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Pragina Bali tak lagi bau tanah, tapi bau parfum.
Menari di etalase. Yeah!

SAYA menonton lagi film La Isla de Bali, sebuah film dokumenter tentang Bali tahun 1930-1950-an. Saya menyaksikan lagi gadis-gadis Bali ketika itu menari lincah, garang, seakan melawan tabuh yang dilantunkan buatnya, seakan menantang penonton yang datang memirsanya. Di atas tanah berdebu, mereka benar-benar ber-taksu. Kostum, wajah dan kulit mereka, wah, berbau tanah, mengisyaratkan kedekatan mereka dengan tanah, simbol bagi budaya agraris, Ibu Pertiwi, kosmos orang Bali tradisional.

Itu tentu saja berbeda dengan tari dan penari Bali sekarang yang jauh lebih gemerlapan, tampak mewah, dengan warna-warna cerah, wajah dan kulit yang putih mulus – dekat sekali dengan model iklan pembersih wajah. Merka menari di tempat-tempat yang lux, panggung-panggung pertunjukan berlampu listrik dengan voltase besar, hotel, villa – dengan harum pewangi buatan – bahkan di dunia maya penuh prestise: televisi, video CD. Dan entah mengapa saya melihat yang sekarang ini lebih genit dan ada rasa rayuan. Tubuh mereka berbau parfum – salah satu produk khas Barat.

Saya tidak sedang – dan memang tidak ingin – membedakan keduanya melalui suatu ukuran kualitas yang hierarkis, atau malah ekstrem baik-buruk. Masing-masing punya kualitas dan logika kualitasnya tersendiri yang tidak bisa dinilai dengan tolak ukur yang sama. Masing-masing memiliki orientasi dan tujuannya sendiri sehingga mereka memiliki pula "taksu" dan ukuran "taksu"-nya sendiri.

Sebuah deskripsi yang klasik memang bahwa orang Bali dulu menari untuk bakti dan ngayah, baik kepada Ida Betara maupun masyarakat, sehingga dengan demikian laku menari adalah sebuah laku tanpa mengaharap pamrih – kecuali kepuasan batin tertentu. Menari adalah laku upacara bersama, baik dalam konteks tari itu adalah wali (sakral), bebali (untuk ritual) atau balih-balihan (tontonan hiburan). Semua memiliki posisinya sebagai upacara, sebuah kebersamaan, guyub yang mengikat emosi individu-individu.

Namun demikian, saya ingin menilik hal ini bukan dari tari sebagai sesuatu yang suci, luhur, adiluhung dan nilai-nilai keutamaan lainnya. Saya ingin melihatnya sebagai sebuah cara untuk menyikapi konteks kehidupan ketika itu, yang mana memang berkutat pada tanah, budaya agraris adalah suatu medan kebudayaan yang melahirkan berbagai produk kebudayaan termasuk seni; dan membandingkannya dengan laku menari dalam konteks kehidupan mutakhir.

Ketika itu, ketika agraris adalah medan budaya bagi mayoritas orang Bali, tanah adalah sesuatu yang memiliki posisi sakral hingga profan sekaligus. Dalam hal sakral pun tanah masih memiliki perbedaan nilai atau kualitas keutamaan. Pada satu sisi tanah adalah simbol bagi Dewi Sri, dewi padi, dewi kesuburan, dewi kemakmuran, Ibu Pertiwi, junjungan para petani. Saya teringat kata-kata seorang rama Kristen yang bilang bahwa petani adalah sebuah profesi yang paling dekat dengan Tuhan. Di sisi lain tanah juga merupakan simbol kekuatan "jahat" semacam bhuta kala dan sebagainya. Persembahan berupa caru selalu mengarah ke bawah, ke tanah; berbeda dengan yang ditujukan kepada para dewa atau betara yang berorientasi ke atas, langit atau gunung.

Dalam hal yang profan pun demikian – walaupun kaitannya masih erat dengan yang sakral di atas. Tanah memiliki keutamaan, kemuliaan, sesuatu yang berharga ketika ia adalah sumber penghidupan secara fisik bagi orang Bali. Tanah adalah media bagi segala macam tanaman, segala sumber makanan. Di sisi lain tanah adalah tempat untuk membuang segala macam kotoran, bangkai, reged, leteh.

Masyarakat Bali tradisional memuliakan tanah dalam kedua unsur paradoksnya, dalam arti merangkul perbedaan dua hal yang berlawanan – barangkali sebagai pengejawantahan dari konsep rwabhinneda (dua hal yang berbeda dan berlawanan). Perilaku atau penyikapan yang cenderung sebagai penyakralan terlihat karena orang Bali memiliki pandangan yang menjunjung nilai keutamaan, sakral, suci, namun tidak melawan hal-hal yang punya nilai "bawah", seperti hal yang kotor, reged, leteh, bhuta kala. Kekuatan-kekuatan bernilai "bawah" tidak dikonfrontasikan dengan kekuatan-kekuatan yang dapat menimbulkan benturan atau tabrakan keras sehingga menimbulkan konsekuensi kalah-menang semacam perang, melainkan dengan nilai "halus". Segala kotoran, reged, leteh, diarahkan ke bawah, ke tanah, dengan berpegang pada kepercayaan tentang suatu proses penetralisiran, semacam pengembalian ke titik nol. Bhuta kala diberikan caru atau sesajen dengan berlandaskan pada sikap perangkulan, ajakan untuk hidup berdampingan, persaudaraan sebagai sesama isin gumi (isi bumi, segala yang ada di bumi). Ini barangkali yang menyebabkan mereka yang kurang paham kemudian menganggap orang Bali juga memuja kekuatan jahat semacam bhuta kala.

Demikianlah secara sederhana pandangan orang Bali tradisional yang melatarbelakangi laku menari mereka. Di dalamnya tersurat bagaimana orientasi laku menari yang dilakukan orang Bali. Tanah sebagai kosmos bukan harus dimintai pamrih, namun sebaliknya harus diberikan persembahan atau "sapaan" sebagai suatu timbal balik atas segala yang telah diberikannya pada manusia. Tanah adalah sumber taksu, bahkan taksu itu sendiri.

Di masa sekarang – yang katanya modern – punya orientasi yang berbeda. Kalau titik pembicaraan tidak saya geser dari masalah tanah, maka kita temukan orientasi yang berbeda pula dalam hal penyikapan serta perlakuan terhadapnya. Mau tidak mau ternyata harus diakui bahwa industrialisasi adalah salah satu (kalau tidak ingin menyebutnya sebagai satu-satunya) penyebabnya. Tanah dalam terminologi industri adalah kapital. Sebenarnya ini tidak jauh berbeda dengan pandangan orang Bali tradisional yang melihat tanah sebagai sumber kemakmuran. Namun dalam dunia industri, tanah tidak disikapi dengan holistik. Sisi sakralnya ditiadakan. Ia adalah modal yang dapat mendatangkan untung atau diperjualbelikan. Tanah semata material dan fungsional.

Industrialisasi terjadi dalam segala hal, sehingga segalanya memiliki peluang mengambil bagian di dalamnya, semuanya dapat dijadikan produk industri. Dalam logika yang demikian orang Bali menari. Maka tari pun adalah produk industri, dan ini tentu saja berpengaruh pada segala hal dalam laku menari. Ekspresi wajah, tipikal gerak, tampilan visual mengadopsi berbagai pernik industri. Bahkan tidak menutup kemungkinan taksu-nya pun adalah taksu industri. Taksu tanah sudah tidak bisa direngkuh (atau mungkin malu karena dianggap jadul?) karena ia telah direngkuh sedemikian rupa dan kuat oleh industri. Maka menarilah orang Bali dengan taksu parfum, salah satu simbol produk industri Barat. Pesona parfum adalah pesona tari Bali mutakhir, tidak terkecuali dalam beberapa kasus tari wali dan bebali.

Bali Tanpa Bali


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Judul: Bali Tanpa Bali
Penulis: Ibed Surgana Yuga
Penerbit: Panakom Publishing & Komunitas Kertas Budaya
Cetakan Pertama: 2008
Tebal: xvi + 164 hal.
ISBN: 978-979-1108-10-2

Saya ingin memandang Bali …. Ah, jangan-jangan ini hanya kerinduan cengeng – sekaligus menjengkelkan – bagi orang seperti saya, yang terlempar atau melemparkan diri sejenak dari wilayah geografis Bali. Saya bisa saja sok-sokan bersikap, sambil berpretensi memandang Bali dari luar Bali, padahal jangan-jangan Bali sama sekali tidak meninggalkan segores bekas tipis pun dalam diri saya. Atau bisa jadi saya cemburu karena apa-apa yang menjadi "mainstream" di Bali tak mampu saya jangkau. 

"Tajén", Orang Bali, "Calonarang" 
Lalu orang Bali? Hanya menikmati kekalahan di antara gemuruh arena tajén (industri pariwisata Bali). Setelah menikmati hasil penjualan manuk-manuk, yang ternyata tak seberapa, orang Bali mulai merengek-rengek pada pihak penyelenggara tajén untuk bisa masuk ke sana lagi, menjadi pedagang asongan atau sekadar tukang pasang taji bagi manuk-manuk yang akan diadu. Orang Bali hanya menjadi abdi-abdi (untuk tidak menyebut "babu") yang – dengan senjata kain pel atau sapu – memberi service terbaik untuk kesuburan ruang-ruang kapitalis di natah orang Bali sendiri. Orang Bali kemudian memberhalakan ruang-ruang tersebut – ruang-ruang yang sebelumnya pernah mengalahkan mereka.

Kisah Perlawanan (yang "Tunduk") terhadap Adat Bali
 Pada beberapa sisi, hukum adat dalam konstruksi masyarakat tradisi Bali kadang sangat kejam pada krama adatnya sendiri, namun luluh ketika dihadapkan dengan dunia luar, apalagi pada modernisme yang membawa industrialisasi – dan iming-iming materialisme, tentunya – sebagai anak kandungnya. Inilah yang menjadi inti kisah ironis dari Incest. Desa adat dengan kekuatan massa serta para pemucuknya sangat patuh terhadap awig-awig adat yang berlaku, demi memproteksi berbagai sisi kehidupan serta keberlangsungan hidup yang sejahtera bagi krama adat, serta menjaga keluhuran dan keajegan adat itu sendiri. Kepatuhan tersebut termasuk pada hal-hal yang – menurut pola pemikiran "masa kini" – "tidak relevan" lagi. Tidak mengherankan jika adat sering kali terlihat begitu kejam dan "tidak relevan" ketika menjatuhkan berbagai macam sanksi terhadap para krama-nya yang dianggap melanggar atau melawan awig-awig. 

"Méru" Satpam 
Sejarah polemik tentang "pelecehan" terhadap simbol-simbol yang dianggap suci dalam wilayah budaya dan agama Hindu Bali telah terbentang lumayan panjang. Beberapa yang pernah saya dengar, di antaranya kasus foto bola golf di atas canangsari, album Manusia Setengah Dewa Iwan Fals, sinetron Angling Darma, film Opera Jawa Garin Nugroho, penggunaan nama dewa dalam beberapa merek kendaraan bermotor, dan sebagainya. Menanggapi polemik seperti ini, orang Bali sendiri ada yang pro dan kontra. Ada yang beranggapan bahwa "pelecehan" semacam ini perlu "diberantas" semuanya. Yang lain mengklaim wacana seperti ini terlalu "nyinyir", bahkan dianggap terlalu mengeksklusifkan budaya dan agama Hindu Bali dari pergaulan budaya dan agama lain.

Cenk Blonk sebagai Simbol 
Eksplorasi yang dilakukan Cenk Blonk tentu saja memunculkan konsekuensi-konsekuensi tertentu, seperti "pengingkaran" terhadap pakem wayang kulit Bali. Dalam beberapa hal, rupanya Cenk Blonk memilih untuk mendobrak pakem-pakem tertentu guna meloloskan berbagai hasil eksplorasinya. Bagi saya, praktik "pengingkaran" pakem ini bukanlah perkara baru dalam ranah seni tradisi. Ini bahkan sering kali menjadi "keniscayaan" ketika sebuah genre seni berhadapan dengan produk-produk budaya lain yang menjadi tanda mutakhir zamannya. Di balik "pengingkaran" itu saya membaca suatu simbol bagi "pengingkaran pakem kehidupan" tradisi tertentu. Dalam tataran wacana, ini merupakan wacana bagi realita kehidupan aktual yang mesti "menengok kembali" berbagai "pakem kehidupan" yang telah mentradisi, di mana "pakem kehidupan" yang telah usang dan tidak relevan lagi bagi persaingan kehidupan kontemporer suatu zaman sudah waktunya untuk dimuseumkan atau diinterpretasi ulang. Ia hidup sebagai filter bagi pola laku dan pikir warisan tradisi, guna mengkonstruk lagi pola laku dan pikir yang up to date bagi zaman mutakhir.

Bahasa Bali yang Jauh
 "Punapi gatra, Gus?" Duh! Tiba-tiba saya merasa asing dengan sapaan itu. Bukan saya tidak mengerti apa maksudnya. Tapi karena yang mengucapkannya adalah seorang teman akrab, walau telah beberapa tahun kami tidak berjumpa. Terhadap sapaan itu saya hanya menjawab, "Béh! Kéné-kéné dogén uli pidan. Sing taén berkembang." Ketika bertemu dan ia mengucapkan sapaan itu, saya merasa ada kadar yang berkurang pada keakraban persahabatan kami yang sudah bertahun-tahun berjalan. Padahal baru saja saya ingin menyambutnya dengan keakraban (baik dalam berbahasa maupun bersikap) yang biasa kami lakoni ketika sering bertemu dahulu. Percakapan demi percakapan terus berlangsung, dan ia tetap saja menggunakan basa Bali alus. Perlahan, bukan hanya kadar keakraban yang terasa memudar. Teman saya telah menjadi sosok asing di depan saya, seperti seseorang yang baru saja kenal dan entah datang dari mana.

"Nawegang antuk Linggih" 
Dengan pemaknaan terhadap dua narasi sejarah yang berbeda (katakan saja demikian), keduanya memiliki dan mengamalkan pembenarannya masing-masing. Kedua narasi sejarah itu pun tak dapat dipisahkan dari eksistensi manusia Bali karena keduanya merupakan lintasan sejarah yang membangun manusia Bali sekarang, terlepas dari seberapa besar perannya masing-masing. Masalah muncul ketika ada laku "pengkultusan" terhadap salah satu sistem yang dilakoni guna meraih status tertentu dalam konstelasi kehidupan sosiokultural dan sosioreligius, yang mana status tersebut mengandung prestise tertentu pula. 

Orang Jembrana 
Kisah "orang-orang terbuang" dan perambahan hutan di atas menambah ketegasan bahwa karakter keras dan kuat memang dimiliki oleh orang Jembrana, yang secara kesejarahan merupakan endapan dari karakter orangorang yang dicap pembangkang, penentang, pembelot, pemberontak. Lalu ditambah lagi dengan ritual perambahan hutan dalam membuka lahan tempat tinggal dan pertanian yang harus dilakoni dengan mengalahkan keangkuhan pohon-pohon besar, menaklukkan kebuasan dan keliaran rimba, merebut Jimbarwana. Semuanya memerlukan karakter fisik dan jiwa yang keras dan bedu.

Bali Tanpa Eksotika
 Namun, ketika orang luar Bali kemudian memasuki lingkungan budaya orang Bali, yang melakukan penilaian terhadap kosmologi Bali, dan mengutarakan hasil pandangan atau penilaiannya itu kepada orang dalam atau luar Bali, mulailah lahir "Bali yang eksotis". Salah satu realisasinya adalah berbagai narasi tentang Bali dalam brosur-brosur pariwisata di luar negeri serta berbagai karya etnografi. Orang Bali kemudian terpengaruh oleh penilaian ini. Dalam bahasa saya, orang Bali "disadarkan untuk menilai" laku budayanya sendiri melalui kacamata lain, bukan kacamata yang sebelumnya digunakan sebagai "orang dalam yang taat". Orang Bali "disadarkan" bahwa Bali memiliki eksotika. Di sisi lain, "kesadaran" ini digunakan oleh pihak tertentu di Bali untuk menyulut semacam sikap "kebalian" (identitas?) bagi orang Bali sendiri. Dan sebagaimana yang kita lihat sekarang, banyak orang Bali yang gegap gempita, bahkan sesumbar, dengan "kebalian"-nya. 

Menengok "Paon" 
Dari ketiga jenis kehilangan itu, yang paling tidak bisa "ditemukan" lagi adalah kehilangan secara kultural. Walau kemungkinannya masih bisa, namun manusia-manusianya yang telah berpikiran modern tentu akan menganggap itu sebagai suatu kemunduran peradaban, tidak efisien, dan sebagainya. Kehilangan secara kebendaan sebenarnya masih bisa "ditemukan" lagi lewat museum-museum atau kolektor barang antik atau dari tinggalan-tinggalan leluhur yang glantak-glénték tak terhiraukan. Sedangkan kehilangan secara historis masih bisa didengar lewat cerita-cerita para orang tua atau tulisan-tulisan. Hanya saja, sekali lagi, sejarah itu tidak teralami lagi. Lalu, apakah ini sebuah kesalahan? Apakah ini suatu sikap yang tidak menghargai dan melestarikan warisan nenek moyang? Saya selalu curiga terhadap klaim "tidak
menghargai" dan "tidak melestarikan" warisan nenek moyang. Jangan-jangan, anggapan ini lahir dari cara pandang yang keliru.

Kolektivitas Cap "Suryak Siu"
 Di Bali saat ini, praktik suryak siu bukan hanya terjadi dalam skala kecil seperti pada kasus yang saya contohkan di awal tulisan ini. Ia tidak hanya bergerak pada lingkungan banjar saja, namun telah menjadi semacam gerakan menyeluruh masyarakat Bali. Kita lihat misalnya sekarang ini di Bali berkembang sebuah wacana tentang konsep identitas kebalian yang disebut Ajeg Bali. Ajeg Bali ini muncul dari figur yang "patut digugu dan ditiru". Entah siapa figurnya. Media massa lokal yang sekarang berkembang di Bali adalah salah satu "kulkul" yang menyuarakan wacana ini, untuk kemudian dilaksanakan oleh krama "banjar" Bali. Maka, jadilah segalanya sesuatunya seakan dilakukan demi Ajeg Bali, tanpa penelusuran lebih jauh tentang konsep macam apa sebenarnya Ajeg Bali itu. Inilah salah satu perilaku suryak siu yang sekarang tengah berkumandang di Bali. Sebagaimana perilaku suryak siu yang saya contohkan di awal tulisan ini, suryak siu krama "banjar" Bali ini pun memiliki dua posisi paradoks.

Humor di Pentas Seni Bali 
Seakan ada semacam "tata hierarki peran" yang diberlakukan dalam dunia pentas ini, bahwa yang berhak berhumor-ria, ngaé bebaudan, ndagel di atas panggung hanyalah tokoh parekan, yang notabene adalah wakil dari wong cilik. Tokoh lainnya, apalagi berasal dari kelas atas, harus tampil agung, berwibawa, serem, aéng, serius. Ini barangkali lahir dari kondisi sosial, terutama dalam konstruksi masyarakat berstratifikasi, bahwa kalangan atas harus selalu tampil santun, formal, menjaga sikap, menjaga prestise sebagai kelas masyarakat terhormat, sebagaimana pengamatan Clifford Geertz dalam Negara Teater. Sedangkan rakyat kecil boleh berbuat dan ngomong seenak wudel.

Upacara, Mitos, Bali 
Upacara di Bali terus berkembang hingga sampai pada satu titik di mana ia diposisikan sebagai semacam kewajiban bagi umat Hindu Bali. Agamalah yang melembagakannya sehingga posisi wajib ini tercapai. Maka jadilah semacam peraturan mutlak tentang upacara. Hari ini harus diadakan upacara ini dengan sesajen ini dan mantra ini serta dilakukan oleh ini. Hal ini bukanlah masalah ketika telah didasari oleh kesadaran yang saya uraikan di atas. Namun ketika kewajiban itu hanya dipandang sebagai kewajiban semata, tanpa dirunut kenapa ia diwajibkan, maka muncullah mitos baru tentang upacara, yang kemudian menjelma menjadi dasar pelaksanaan upacara. Landasannya di sini bukan lagi kesadaran berupacara. Segalanya berjalan sebagai suatu rutinitas kosong yang tentu saja kemudian hanya menghambur-hamburkan uang. Inilah suatu bentuk kebutaan dalam berupacara, suatu rutinitas ritual tanpa pemaknaan. 

Eksotika yang Ajeg
(Jejak Kuasa dalam Politik Kebudayaan) 
Wacana Sela I Ngurah Suryawan
Beragam fenomena yang terjadi di Bali pasca Bom Bali I dan II seolah menyiratkan munculnya kembali rasa sentimen kedaerahan, dan dalam hal ini ke-Bali-an berdasarkan agama Hindu. Dasar sentimen itulah yang menjadi benih dari gerakan-gerakan fundamentalis, seperti juga yang terjadi dalam agama Islam, Kristen, dan lainnya. Terorisme sebagai cermin fundamentalisme yang identik dengan Islam kini menemukan konteks dan makna baru di Bali, yaitu "teorisme budaya" dalam bentuk Ajeg Bali dan Ajeg Hindu. 

"Nak Bali Apa Sing Bisa Ngigel!" 
"Orang Bali ya? Coba matanya digini-giniin," pinta seseorang kepada teman saya sambil menggerak-gerakkan bola matanya, bermaksud meniru sledétan penari Bali. "Saya enggak bisa nari," kata teman saya, seorang gadis Bali yang kini kuliah di Jogja. Lalu orang itu beralih pada saya. "Coba kamu," katanya meminta saya melakukan hal yang sama. "Saya lahir di Bali, tapi enggak bisa nari Bali," jawab saya. Orang itu terdiam sejenak. Ada keheranan di raut mukanya. Barangkali dalam hati ia berkata, "Kok ada, ya, orang Bali tidak bisa menari?" 

Bali dan Tubuh Perempuan 
Pada masa itu, figur perempuan Bali telanjang dada adalah gambaran dari kehidupan sosial pedesaan Bali. Barangkali kita bisa membaca bahwa di balik figur perempuan telanjang dada itu tercermin kepolosan, tradisi berbau tanah, kesederhanaan (atau penyikapan secara sederhana) budaya keseharian, atau bahkan kemiskinan (ekonomi). Mereka sangat jauh dari kebaya yang pada saat itu mulai dipandang sebagai salah satu bentuk kesopanan oleh kaum menengah ke atas yang mengenyam bangku sekolah. Dada perempuan ketika itu barangkali bukan suatu daya tarik seksual bagi laki-laki. Bukankah dengan demikian orang Bali zaman dulu bahkan lebih bisa menempatkan konteks seksual dalam kehidupan sehari-hari mereka? Telanjang bulat bersama di sungai barangkali bukan suatu suasana yang dapat menarik hasrat seksual.

Hari Raya yang Hilang 
Ketika mulai tinggal di Jogja, tepatnya sejak pertengahan 2003, saya tidak punya hari raya lagi. Saya selalu bilang begitu pada teman-teman saya. Pernyataan ini memang ada nada bercanda, dan awalnya saya memang bermaksud bercanda. Namun sering kali teman-teman saya menanggapinya serius. Dan lebih sering lagi, saya sendiri yang menganggapnya serius karena bagaimana pun juga apa yang saya katakan itu, yang bagi beberapa orang yang taat agama adalah tabu, memang saya alami dan rasakan.

Menghidupi Seni Bali
 Tidaklah mengherankan jika kemudian lahir masyarakat pendukung pada masing-masing produk seni. Dengan kata lain, muncul praktisi seni khusus untuk pariwisata, khusus festival, khusus partai politik tertentu dan sebagainya. Semuanya akan melahirkan kehidupan seni Bali yang spesifik, "produk seni kepentingan", yang – sekali lagi – lepas dari baik dan tidaknya kualitas masing-masing. Lalu, siapakah yang punya andil besar, siapakah yang berwenang, siapakah yang berjasa, siapakah yang idealnya menghidupi seni di Bali? Ternyata bukan jubelan pertanyaan ini yang mesti dijawab; namun untuk apa sebenarnya seni Bali dihidupi sekarang?

Dusun, Daun Pisang, HP
 Mobil-mobil pick up itu masuk ke jalanan dusun yang sebelumnya belum tentu dijejaki ban mobil dalam sebulan sekali. Mereka "mengekspansi" dusun. Mereka merintis pengajaran "pengantar ilmu berdagang" kepada dusun. Mereka mengajarkan bagaimana persaingan pasar, bagaimana mengemas barang dagangan sehingga punya daya tawar – walau masih dalam taraf yang begitu sederhana. Mereka memberi "penyadaran" kepada orang dusun yang "terbelakang", bahwa di sekitarnya bergelimpangan berbagai potensi ekonomi yang seakan berebut mengacungkan tangannya, minta secepatnya diubah menjadi uang. Mereka mengajar dusun untuk mengukur segala sesuatunya dengan rupiah. Mereka mengajar dusun menjadi "materialistis".

Rare Angon 
Ah, itu hanya sebuah dongeng. Barangkali ia tak perlu bahasan seruwet yang saya lakukan di atas. Dongeng hanya imajinasi dari ruang "dahulu kala" yang kabur. Hanya kisah pengantar tidur yang dipuja-puja ketika kanak-kanak, perlahan dilupakan ketika remaja, kadang dikenang ketika dewasa, dan tak pernah diceritakan lagi kepada cucu ketika usia tua. Dongeng adalah masa kanak-kanak yang penuh "kebohongan". Tapi, masa kanak-kanak kita belajar dari "kebohongan" itu – walau kemudian disangkal di masa-masa selanjutnya. Konon, "kebohongan" itu penuh dengan ajaran-ajaran tentang kebajikan. Di sana, dalam dongeng itu, kanak-kanak kita menjelajahi kompleksitas kehidupan melalui "dunia lain". 

Telanjang
 Budaya Bali, hingga sekarang, masih menyisakan karakter telanjang, baik secara fisik maupun filosofis. Perlu cara pandang tertentu untuk meniliknya. Kemiskinan dan iklim yang sering dijadikan asalan kenapa perempuan-perempuan Bali dahulu telanjang dada dalam kesehariannya agaknya harus dipandang dengan cara yang berbeda agar tak melulu berhenti pada taraf alasan. Kemiskinan dan iklim mestinya dipandang sebagai keniscayaan alam dan sosial yang kemudian membentuk konstruksi budaya Bali. Tak perlu ada semacam permakluman dalam hal ini. Sebab kalau memposisikannya sebagai permakluman, kita tengah terjebak ke dalam pengakuan bahwa telah terjadi kesalahan dalam proses panjang pembentukan budaya Bali. Sekali lagi, mesti diakui sebagai keniscayaan. Bukankah kita tidak pernah bisa memilih siapa ibu yang melahirkan kita? 

Pentas Itu Bernama "Tajén"
 Dalam satu segi tajén punya persamaan dengan upacara-upacara yang dilakoni oleh orang Hindu Bali. Keduanya sama-sama merupakan "kesekejapan" yang teaterikal. "Kesekejapan" muncul ketika peristiwanya berlangsung, ketika eksekusinya. Sebagaimana menyiapkan sarana upacara, ayam jantan disiapkan dengan begitu tekun oleh bebotoh. Segalanya diperhitungkan dengan teliti: melik, kebugaran fisik, déwasa yang baik untuk mengadu, serta dengan ayam jago macam apa ia harus diadu, dan sebagainya. Pokoknya, bebotoh begitu meting-meting ayam jagonya agar bisa mapalu dengan tangkas di arena tajén. Hingga tiba saatnya ia diadu, dan hanya ada kemungkinan menang dan kalah. Setelah itu, selesai. Begitu sekejap. Peristiwanya tidak bisa diulang. Jika kalah, ia mati dan jadi bé cundang. Jika menang, ia harus dipersiapkan sedemikian rupa lagi, dengan perhitungan yang pelik, untuk menghadapi pertarungan selanjutnya. Tajén memang sebuah upacara.

Memupuk Pohon Mitos 
Justru semakin banyaknya orang yang berpikiran modern dan individualis itulah yang kian menyuburkan pohon mitos. Lahirnya berbagai interpretasi dari orang-orang yang berpikiran modern merupakan satu penyebab kerindangan tersendiri karena tidak pernah ada massa yang menyatakan persetujuan secara bersama terhadap hasil interpretasi itu. Ia (interpretasi itu) hanya menemukan persetujuannya dalam pola pikir interpretatornya sendiri. Inilah ciri pemikiran modern yang individualis. Interpretasi-interpretasi itu berkumpul jadi satu – tanpa menemukan banyak pendukung, dan jarang bisa disamakan – menciptakan kerindangan yang hebat pada pohon mitos. Hal ini belum lagi ditambah oleh penalaran fundamentalis terhadap mitos serta berbagai interpretasi yang menggunakan pemikiran di luar modern. 

Nyepi Kampus 
Nyepi Kampus barangkali meniru penyelenggaraan acara Dharma Santi Nasional yang biasanya diselenggarakan setelah Nyepi. Beberapa kali memang Nyepi Kampus di kampus saya membawa embel-embel "Dharma Santi Kampus". Apa tujuan penyelenggaraan Dharma Santi Nasional, yang biasanya dihadiri presiden dan pejabat negara lainnya itu, saya tidak tahu persis. Namun dalam sambutannya pada Dharma Santi Nasional dalam rangka Nyepi Saka 1929, Pak Presiden SBY menyatakan, Dharma Santi Nasional sebagai wujud silaturahmi umat Hindu bertujuan untuk memuliakan mahluk hidup dan meningkatkan kesetiakawanan sosial. Rupanya, 24 jam dalam Nyepi yang sepi di luar dan riuh di dalam itu belum cukup untuk sekadar mewujudkan kesadaran untuk bersilaturahmi, bahkan antarumat Hindu sendiri, sehingga acara seremonial (!) semacam Dharma Santi Nasional perlu diadakan. Dan acara seremonial yang melibatkan pejabat biasanya jauh dari jangkauan masyarakat biasa (baca: umat).

"Gesah" PKB 
Pesta Kesenian Bali (PKB) tidak habis dibicarakan. Dan sepertinya akan selalu begitu. Pembicaraan tentangnya bukan sekadar warna atau bumbu di antara setiap tahun penyelenggaraannya, di antara sekian banyak macam kesenian yang dipestakannya. Kalau mau mempertahankan eksistensi PKB, salah satunya, ya, dia harus dibicarakan. Diwacanakan. Terus-menerus. Tidak peduli wacana yang positif atau negatif, membangun atau tidak, memuja atau memaki. Yang penting wacana, kritik, gesah. Dua macam wacana yang paradoks akan sama derajatnya dalam menunjang eksistensi PKB. Layaknya selebriti layar kaca, ia akan makin tenar dan dicari karena gemilang dalam bermain sinetron maupun gemilang dalam berselingkuh. Itulah ajaibnya dunia wacana. (Tapi ingat, PKB bukanlah pemain sinetron!) 

PAST
Dalam hemat saya, keberadaan PAST di Jembrana pada satu sisi memikul tanggung jawab – walau secara formal tidak ada yang memberinya tanggung jawab – bagi terciptanya kehidupan yang kondusif bagi seni kontemporer pada umumnya, sastra dan teater pada khususnya. Jembrana – yang konon – sebagai salah satu barometer kehidupan sastra dan teater kontemporer di Bali mesti dibuktikan dalam tataran praksis, bukan hanya dalam wacana. Di sisi lain, ada semacam ketakutan eksistensial yang melingkupi PAST. Ia menjelma dari (bayang-bayang) narasi kebesaran masa lalu tentang eksistensi seni kontemporer (atau sering disebut: modern) yang pernah hidup di Jembrana. Ketakutan ini bisa jadi merupakan ketakutan menjadi kecil, hilang atau gagal menyambung tali dengan sejarah masa lalu. Wacana yang mencuat tentang kebesaran masa lalu, di samping merupakan pembuktian tentang akar yang kokoh, secara ironis sebenarnya juga menjadi retorika nostalgik di tengah kondisi mutakhir yang barangkali sedang tidak kondusif, mandeg, fakum atau mati suri. 

Bali Tanpa Bali
Proyektor itu memantulkan gambar idoep ke selembar kain putih sekitar 2 X 3 meter yang tertempel di tembok. Frame demi frame gambar beringsutan selama kurang-lebih lima puluh menit di sana, mendongeng tentang hamparan sosiokultural sebuah wilayah di Bali. Namun di sana hampir tidak bisa ditemukan gambaran tentang Bali sebagaimana yang ditemui di televisi atau brosur pariwisata. Hanya beberapa detik saja melintas foto penari legong, figur gadis Bali tempo dulu yang telanjang dada, serta bangunan pura. Selebihnya adalah gambaran sepasang kerbau yang lari dengan beringas dalam makepung; tangkas para penabuh jegog; kendang raksasa dalam gamelan kendang mabarung; penari pencak silat yang berkostum mirip pemain stambul; penari leko yang sekilas tampak cuma meniru kostum penari legong; para nelayan Slam di daerah pesisir Jembrana; orang mengambil wudhu dan shalat; kebaktian di gereja yang diikuti para jemaah berpakaian adat Bali; khotbah pendeta ber-basa Bali alus, dengan beberapa kali ucapan puja kepada Sang Hyang Yesus Kristus; rumah panggung Melayu-Bugis; orang-orang yang berbicara dengan "bahasa aneh" – campuran bahasa Bali, Melayu dan Jawa; anak-anak muda latihan teater kontemporer dan musik puisi; berita-berita tentang berbagai kegiatan seni kontemporer; dan sebagainya yang jauh dari gambaran (stereotip) tentang Bali.