Membaca Bali dari Candi Sukuh


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Mencari wajah Bali
pada batu-batu purba di Jawa.

 

BANYAK ahli seni yang menyebut wayang kulit Bali memiliki bentuk yang lebih sederhana dibandingkan dengan wayang kulit Jawa yang lebih rumit dan memiliki stilisasi bentuk yang mengarah ke perkembangan dari bentuk sederhana. Mengapa hal ini bisa terjadi, padahal wayang kulit Bali juga memiliki akar pada wayang kulit Jawa (pada masa yang lebih kuno)? Jawabannya tentu saja perkembangan. Namun perkembangan yang macam apa? Beberapa argumen mengatakan bahwa wayang kulit Jawa mengalami perkembangan yang pesat dan kompleks, baik secara bentuk, lakon dan filsafatnya pada masa pengaruh Islam. Sedangkan wayang kulit Bali yang tetap berada di bawah kultur Hinduisme, tidak mengalami perkembangan sebagaimana sejawatnya di Jawa. Saya sendiri baru saja mendapat jawaban (yang masih kabur) tentang perbedaan ini, setelah berkunjung ke Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah.

Candi Sukuh: Kembali ke Jiwa “Primitif” yang “Kasar”
Jika kita melihat bentuk umum candi-candi di Jawa, maka ketika melihat Candi Sukuh sebagai candi Hindu, kita akan disuguhi bentuk candi yang “aneh”. Seakan ia tidak bisa dilacak dari arsitektur kebudayaan Hindu. Bentuknya yang berupa piramida, lebih mengingatkan kita pada kebudayaan Mesir, Meksiko, Peru atau Polynesia.

Candi Sukuh diperkirakan dibangun antara tahun 1416 dan 1459, pada masa akhir kejayaan Hinduisme di Jawa. Yang menarik, candi ini justru dibangun jauh dari pusat peradaban Hindu ketika itu, yaitu Majapahit di Jawa Timur. Ia malah lebih dekat dengan pusat Hinduisme sebelumnya, yaitu Mataram Lama di Jawa Tengah, pada sekitar abad ke-9. Dugaan yang beredar adalah bahwa candi ini dibangun oleh orang-orang yang menyingkir dari Majapahit karena kerajaan itu telah dikalahkan oleh Demak. Kita tahu bahwa ketika itu pula ada eksodus orang-orang Majapahit ke Bali, yang mana kini menjadi nenek moyang sebagian besar orang Bali.

Secara garis besar, Candi Sukuh dilingkupi dengan simbol-simbol besar lingga-yoni. Di lantai gerbang masuk utama, lingga (kelamin laki-laki) dan yoni (kelamin perempuan) digambarkan dengan gamblang dan cenderung bergaya realis. Pada beberapa relief dan arca, alat kelamin (terutama laki-laki) digambarkan dengan vulgar dan cenderung dibesar-besarkan. Simbol lingga-yoni sering dibaca sebagai simbol kesuburan. Saya jadi teringat sebuah relief yang menggambarkan persenggamaan yang terpahat di Pura Maduwe Karang, Singaraja.

Dari relief-relief yang ada di Candi Sukuh, terbaca tiga cerita besar, yaitu “Garudeya”, “Sudamala” dan “Dewaruci”. “Garudeya” bercerita tentang burung garuda yang menyelamatkan ibunya, Dewi Winata, dari perbudakan dengan mencuri tirta amerta dari para dewa. Sadewa meruwat Dewi Durga hingga kembali menjadi Dewi Uma dalam cerita “Sudamala”. Dan Bima mencari tirta amerta di dasar samudera, hingga ia menemukan “dirinya sendiri”, yaitu Dewaruci. Dari cerita ini muncul dugaan besar bahwa Candi Sukuh merupakan candi yang digunakan untuk ritual-ritual ruwatan atau penyucian.

Dari segi arsitektural, Candi Sukuh diduga dibangun dengan menyalahi pola dari kitab tentang arsitektur Hindu, yaitu Wastu Widya. Dalam kitab ini konon dijelaskan tentang bentuk candi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengah, yang merupakan wilayah paling suci. Argumen yang kemudian muncul adalah, candi ini dibangun pada masa pudarnya kejayaan Hindu di Jawa, sehingga bentuk-bentuk yang lebih mengemuka kemudian justru dari kebudayaan yang lebih kuno dan arkaik, yaitu masa megalitik.

Argumen ini dapat kita buktikan jika melihat bentuk-bentuk yang tergambar pada arca dan relief di kompleks candi. Figur-figur yang tergambar dari pahatan batu itu terlihat lebih “kasar” dan “primitif” dibandingkan dengan berbagai figur yang terpahat pada batu-batu candi yang dibangun berabad-abad sebelumnya, seperti Prambanan dan Borobudur. Adakah ini menunjukkan bahwa Candi Sukuh merupakan sebuah refleksi kembalinya jiwa “primitif” manusia setelah mengalami masa kejayaan?

Kuatnya pengaruh budaya megalitik juga terlihat pada jalan batu yang memanjang lurus dari gerbang utama hingga menuju pintu masuk candi. Jalan batu seperti ini menurut para ahli sangat jarang ditemukan pada candi-candi umumnya di Jawa. Model jalan seperti ini hanya bisa ditemukan pada bangunan-bangunan suci prasejarah megalitik. Di Bali, jalan batu seperti ini terdapat di Desa Trunyan. Orang Trunyan menyebutnya dengan nama Jalan Batu Gede, yang menurut legenda dibangun oleh Kebo Iwo.

Namun, “keanehan” yang muncul ketika melihat Candi Sukuh barangkali bisa ditepis ketika kita naik ke puncaknya yang berupa dataran batu. Di tengah-tengah lantai batu itu bisa kita lihat batu berbentuk segi empat yang agaknya merupakan sendi, dasar atau tempat meletakkan atau menancapkan tiang kayu suatu bangunan. Dari sini muncul dugaan bahwa di atas piramida itu barangkali ada lagi bangunan tertentu dari bahan yang tidak tahan usia, seperti dari kayu, yang agaknya telah hancur. Jika benar demikian, maka candi yang berbentuk piramida sekarang ini hanyalah sebuah dasar yang lebih mirip punden berundak, prototipe dari candi-candi di Jawa. Hal ini barangkali mirip dengan bangunan palinggih di Bali, di mana bagian baturan-nya dibuat dari batu atau bata, sedangkan bagian palinggih atasnya terbuat dari kayu.

Bali Kini di Candi Sukuh
Jika benar Candi Sukuh dibangun oleh orang-orang yang eksodus dari Majapahit setelah keruntuhan kerajaan itu, maka mereka adalah sejawat dengan orang-orang yang juga meletakkan pengaruh budaya Majapahit di Bali. Ilustrasi saya tentang perbandingan wayang kulit Jawa dan Bali di awal tulisan ini barangkali bisa dijadikan argumen.

Pada relief-relief di Candi Sukuh ditemukan figur-figur yang sangat mirip dengan bentuk tokoh Tualen dan Merdah, keduanya adalah tokoh parekan atau punakawan dalam wayang kulit Bali. Figur-figur ini ditemukan bukan hanya satu-dua, namun banyak sekali. Jika kita menyimak kisah yang digambarkan relief, tampak jelas bahwa figur-figur ini dekat dengan peran parekan, yaitu pengiring tokoh utama. Figur-figur semacam ini tidak ditemukan dalam wayang kulit Jawa. Tokoh Semar dalam wayang kulit Jawa yang sering diidentifikasi sebagai Tualen dalam wayang kulit Bali, pada dasarnya tak memiliki kemiripan bentuk.

Candi Sukuh juga banyak menghadirkan figur Bima. Salah satu dugaan mengatakan bahwa candi ini memang dibangun untuk memuja Bima. Figur-figur Bima yang digambarkan pahatan batu di sini lebih dekat dengan bentuk tokoh Bima dalam wayang kulit Bali dibandingkan dengan wayang kulit Jawa. Bima dalam wayang kulit Bali digambarkan cenderung kecil dan proporsional. Sedangkan dalam wayang kulit Jawa, Bima berbentuk sangat tinggi, dengan tangan yang panjang. Selain itu, ada pula sebuah relief kepala raksasa yang bentuknya mirip dengan Barong Ket di Bali.

Candi Sukuh sebagai salah satu produk budaya Hindu yang unik barangkali bisa dijadikan salah satu refleksi untuk membaca Bali kini. Dari sini kita bisa membaca sejauh mana sebenarnya kita telah bergerak dan sejauh mana kita
melenceng dari jalan yang dirintis oleh para leluhur kita.

Jogja, Juli 2010

Tradisi Kontemporer


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Kini saatnya Bali meng-cancel
pendikotomian tradisi dengan modern.

 
INI adalah wacana yang terlalu sering diulang. Tentang tradisi di masa mutakhir. Dan tulisan ini mengulangnya lagi. Tapi bagi saya tak mengapa. Wacana semacam ini memang memerlukan pengulangan demi pengulangan. Per-ingat-an demi per-ingat-an. Sebagaimana sebuah tradisi yang adalah bentukan dari pengulangan yang terus-menerus, hingga mendapat pengakuan secara komunal, mapan dan memiliki pakemnya tersendiri. Mudah-mudahan sebagaimana tradisi pula, pengulangan demi pengulangan wacana semacam ini menjadi terbiasa, lalu “dilupakan”, karena tanpa disadari telah dijalani.

Walaupun tradisi adalah masalah pelakonan, bukan wacana yang diverbalkan, namun bukan salah jika tradisi diterjemahkan ke dalam bahasa verbal. Sering kali para pelakon tradisi gagap dalam menjelaskan tradisinya, misal kepada generasi selanjutnya dari tradisi tersebut. Ini dapat dipahami sebab pelakonan adalah cara paling jitu dalam proses regenerasi tradisi.


Contoh kasus di atas saya temui ketika seorang gadis kelahiran Denpasar bercerita pada saya tentang orangtuanya yang tidak bisa menjelaskan apa makna dari banten yang dibuat dan di-atur-kannya saban hari. Barangkali karena pengaruh pendidikan yang selalu menuntut kejelasan (verbal!) tentang sesuatu, si gadis ingin tahu seperti apa tradisi yang akan diwariskan padanya. Sebelum memutuskan diri untuk menceburkan diri dalam tradisi itu, barangkali ia menanam kecurigaan jangan-jangan itu adalah tradisi yang keliru.

Apa yang dialami gadis itu bukan sesuatu yang aneh dalam konteks tradisi Bali di masa mutakhir. Sejarah telah membeberkan bukti bahwa tradisi Bali mencapai maknanya dalam pelakonan, bukan pemverbalan, sehingga sering kali tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan diri secara verbal. Pernyataan ini bukan menampik kenyataan bahwa sebagian dari tradisi Bali adalah tradisi lisan yang sangat dekat dengan verbalitas. Namun verbalitas dalam tradisi lisan merupakan bagian dari pelakonan, bukan verbalitas dalam hal menerjemahkan atau mewacanakan perihal tradisi itu sendiri.

Sistem transmisi tradisi kepada generasi selanjutnya dengan cara pelakonan akan mengantarkan generasi baru itu pada pemahaman demi pemahaman secara otomatis. Dengan kata lain, pelakonan akan dengan sendirinya memberikan penjelasan, menerjemahkan, memverbalkan tradisi itu sendiri kepada generasi baru.

Meng-“cancel” Tradisi vs Modern
Masalah yang selama ini disebut sebagai pelestarian tradisi atau pewarisan tradisi yang sering mengkhawatirkan banyak pihak sebenarnya adalah masalah yang di atas disebut sebagai transmisi tradisi. Dalam konteks mutakhir, ketika masalah transmisi tradisi ini megalami ketersendatan, walaupun di sisi lain generasi demi generasi baru terus lahir, maka sering kali modernitaslah yang dituduh sebagai biang keladi dari terganggunya proses transmisi tersebut. Tidak terkecuali di Bali. Berbagai konflik dan polemik yang terjadi dan berkatian dengan tradisi juga selalu memunculkan pemikiran yang mengkonfrontasikan tradisi dengan modern. Hal ini kemudian menimbulkan sikap yang mendikotomikan tradisi dengan modern. Keduanya ditaruh pada dua kutub yang berbeda dan berlawanan.

Pemikiran semacam itu mesti ditinjau ulang. Walaupun ada kebenaran semacam itu, namun perlu dilihat dulu lebih jauh ke belakang, di mana modernitas belum terlalu kuat mempengaruhi kehidupan Bali. Dari cara penilikan seperti ini akan terlihat bahwa sebenarnya, tanpa dikonfrontasikan dengan modernitas sekalipun, tradisi telah melahirkan berbagai konflik dan polemik yang serupa. Tradisi memiliki potensi konflik dan mampu meledakkan konflik itu tanpa adanya gesekan elemen di luar tradisi itu sendiri.

Kini saatnya Bali untuk sejenak meng-cancel pendikotomian tradisi dengan modern. Tradisi mesti mutakhir mesti dilihat sebagai sebuah kebudayaan kontemporer yang menghidupi dan dihidupi oleh manusia Bali mutakhir. Dengan kata lain, segala elemen yang selama ini diklaim sebagai pengaruh luar mesti dipandang sebagai bagian dari tradisi itu sendiri. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memposisikan “pengaruh luar” itu sebagai bagian dari laju proses pembentukan tradisi Bali. Saatnya mereka diposisikan bukan sebagai “orang luar” atau malah foreigner yang mesti selalu dicurigai atau dikonfrontasikan dengan pribumi.

Tradisi yang Selalu Baru
Di Bali saat ini memang tengah berlangsung gejala fundamentalisme yang cenderung kolot. Sering kali gejala ini muncul tanpa dasar yang jelas dan terlihat tidak memiliki sikap yang reflektif terhadap sejarah. Misalnya, melihat kecenderungan perkembangan pakaian sembahyang ke pura yang mengalami banyak modifikasi sesuai dengan perkembangan mode global, ada beberapa pihak yang menyarankan agar pakaian yang telah dimodifikasi itu jangan dipakai untuk ke pura. Manusia Hindu Bali agar kembali pada pakaian ke pura yang “semula”, yang belum termodifikasi.

Pakaian ke pura macam apa yang dimaksud sebagai “yang belum termodifikasi”? Apakah pakaian ke pura semacam ini pernah ada?

Saran seperti di atas merupakan proyeksi dari sebuah pandangan yang tidak reflektif pada sejarah masa lalu pembentukan tradisi Bali. Ini menunjukkan bahwa Bali seakan menampik segala macam pengaruh budaya, dan dengan sombong berikrar bahwa tradisi Bali adalah suatu bentuk kebudayaan yang asli, tanpa polesan dari kebudayaan lain mana pun.

Sejarah telah menunjukkan bahwa Bali merupakan sulaman dari benang-benang budaya yang multikultural. Yang nyata saja bisa kita lihat di dalamnya terdapat benang-benang dari Cina, India, bahkan Timur Tengah. Dan sekarang adalah Barat (modern). Jika kita sepakat bahwa tradisi Bali adalah kebudayaan Bali sebelum mendapat pengaruh modern, maka menolak pengaruh modern sebagai elemen pembentuk dalam proses pertumbuhan tradisi Bali adalah mementahkan kesepakatan itu sendiri. Maka Bali tumbuh dari kemunafikan demi kemunafikan.

Orang yang berpandangan demikian seakan tidak bisa menerima keniscayaan zaman yang mengatakan bahwa tidak ada tradisi yang tidak berubah. Tradisi itu selalu diperbaharui, sebab sebuah tradisi yang unggul adalah tradisi yang mampu mengaktualisasikan kehidupan manusia-manusianya di tengah pergerakan zaman. Tradisi adalah sesuatu yang selalu kontemporer. 


Jogja, Januari 2009

Dan Drama Gong Itu ...


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Apakah Bali memang tak lagi
membutuhkan drama gong?

SALAH satu keunggulan sebuah kebudayaan adalah kemampuannya untuk berubah. Untuk berubah, sebuah kebudayaan harus meraih sesuatu. Untuk berubah, sebuah kebudayaan harus rela kehilangan sesuatu. Dan kehilangan harus dicatat. Karena keunggulan lain dari sebuah kebudayaan adalah kemampuan dan kebetahannya untuk mencatat kehilangan demi kehilangan. Lalu untuk tidak melupakannya.

Tapi kehilangan bukanlah dosa. Barangkali bukan pula kesalahan. Hanya sedikit kekeliruan. Untuk menyenangkan hati, kita sebut saja sebagai keniscayaan zaman.

Ini adalah secarik catatan tentang kehilangan dari sebuah kebudayaan bernama Bali. Ya, walaupun belum sepenuhnya, Bali tengah menghadapi tanda-tanda akan kehilangan drama gong, sebuah bentuk teater yang belum terlalu lama kelahirannya, dibanding dengan bentuk-bentuk teater tradisi Bali pendahulunya. Kejayaannya di masa 1980-an hingga pertengahan 1990-an hanya “puncak kesementaraan”, di mana salah satu bentuknya mencapai kemapanan. Belum ada bentuk-bentuk baru, hasil upgrade baru, yang muncul, apalagi mapan. Pengulangan demi pengulangan yang dilakukan membosankan bagi penonton dan bagi orang-orang drama gong sendiri.

Makanya, siapa yang mau menonton drama gong sekarang? Bahkan di kamarnya sendiri, orang telah terlalu berlimpah dengan hiburan. Pun, siapa yang mau memainkan drama gong lagi? Petruk dan Dolar sudah main lawakan secara idependen di panggung lawak dan televisi, lepas dari komunitas drama gong yang lama membesarkannya. Mereka juga sudah ditarik industri hiburan televisi untuk main lawakan sepintas lalu atau berperan dalam video iklan produk-produk komersial. Beberapa pemain lain terdengar mencoba peruntungan di dunia politik praktis.

Apakah Bali memang tak lagi membutuhkan drama gong?

Selera Massa yang Dipermainkan
Dengan berbekal teori evolusi budaya, Koes Yuliadi (2005) mencatat masa kejayaan drama gong sebagai sebuah bentuk produk seni pertunjukan yang lebih mewakili kegelisahan, pandangan dan selera masyarakat. Menurutnya, drama gong mengambil hati masyarakat dan kemudian memudarkan popularitas arja dan topeng. Sebelumnya, topeng pernah menggeser posisi popoler gambuh di hati masyarakat.

Dan kini drama gong digempur dari segala lini oleh sebuah kekuatan besar yang menjelma di sekian banyak tubuh agen perubahan kebudayaan. Yang digempur sebenarnya bukan drama gong secara langsung, namun massa dengan tawaran-tawaran citra yang menggugah selera, merangsang pencapaian sebentuk gaya hidup baru. Drama gong lalu ditinggalkan massa, ditinggalkan penonton dan calon-calon penontonnya.

Di tengah arus teknologi informasi yang demikian cepat sekarang ini, selera massa memang tengah dipermainkan. Massa dijejali oleh citra demi citra yang selalu memunculkan keheranan dan prestise. Setelah televisi, massa diberikan VCD player, lalu handphone, lalu .... Seakan tak diberikan kesempatan untuk bernapas, massa disugesti untuk meninggalkan apa yang baru saja diraihnya untuk menuju ke peraihan berikutnya yang lebih bergengsi.

Dalam hal permainan yang membuahkan peninggalan terhadap berbagai produk budaya lama tentu saja bukan hanya dialami oleh drama gong. Akan banyak sekali nama yang mengisi daftar peninggalan ini.

Ada satu contoh kasus menarik pada drama gong di tengah permainan yang demikian. Sebuah komunitas drama gong dari Banyuning, Singaraja, menawarkan sebuah bentuk baru dalam drama gong dengan memasukkan lebih banyak konsep-konsep teater modern ke dalamnya. Namun sepertinya bentuk ini hanya mampu mengisi event-event festival semacam PKB. Ia tidak terlalu berhasil mencapai puncaknya di masyarakat yang menanggapnya secara terbuka tanpa embel-embel festival.

Televisi Lokal dan Pemerintah
Dulu salah satu lahan hidup drama gong adalah TVRI Denpasar. Kini ketika teknologi informasi jauh lebih canggih dan beragam dibanding sekadar TVRI Denpasar, drama gong tak ambil bagian di dalamnya. Drama gong yang salah satunya memegang peran sebagai penghibur masyarakat tak cekatan meng-upgrade diri, tak mampu mengimbangi kekuatan super cepat teknologi informasi. Yang sedikit bisa mengakomodasi – walaupun lebih tampak melayani – kekuatan itu adalah personal-personal dari komunitas drama gong, seperti Petruk, Dolar, Dadap, Mang Apel dan lainnya, yang dulu memang berperan sebagai parekan, dengan jasa lawakan atau humornya di televisi lokal. Bahkan, orang-orang yang dulu memerankan tokoh-tokoh serius dan keras semacam Patih Agung dan Raja juga ikut ambil bagian di panggung lawakan independen.

Televisi-televisi lokal di Bali yang mengibarkan misi atau paling tidak slogan pemeliharaan kebudayaan Bali, baik itu ajeg Bali atau apalah namanya, ternyata lebih melayani permainan yang ditawarkan arus besar industri hiburan televisi di Indonesia – yang sebenarnya juga banyak mengadopsi dan meniru acara telivisi luar. Memproduksi sinetron, komedi situasi, lawakan studio, acara kriminal, klenik dan infotainment dipandang lebih menjanjikan secara pasar.

Memang, televisi lokal tengah bergerak mengikuti selera massa yang notabene telah berubah karena pengaruh permainan besar global. Namun televisi lokal belum menampakkan usaha yang kuat untuk mempengaruhi selera massa ke arah yang lain. Sekali lagi, televisi lokal lebih memilih untuk masuk ke dalam permainan itu, dengan kata lain ikut dipermainkan. Ini barangkali masalah ketakberdayaan televisi lokal. Tapi yang lebih tampak adalah usaha untuk ikut menjadi pemain, memainkan permainan demi permainan.

Dulu ketika masa kejayaan drama gong terus menanjak, pemerintah memang punya andil di dalamnya. Berbagai lomba, baik antardesa atau kabupaten menjadi salah satu perangsang kemunculan komunitas-komunitas drama gong. Walaupun memang banyak yang lahir hanya untuk meladeni lomba-lomba tersebut, namun banyak jebolan lomba ini yang mampu mencapai puncak artistik dan pencapaian penontonnya.

Ketika andil pemerintah surut dan aksi artistik komunitas drama gong pun surut, maka dengan mudah hipotesis diambil: pemerintah punya peran yang cukup besar dalam perkembangan drma gong di Bali.

Namun, barangkali akan terlalu nyinyir jika masalah dilempar ke sana-sini. Yang dibutuhkan drama gong sekarang adalah orang-orang cerdas dan kreatif. Dan mau kerja.


Jogja, Januari 2009

Baliho Caleg dan Komunikasi Politik Jalanan


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Caleg: “Aku bisa (gengsi di mata calon pemilih)!”

DI masa panjang kampanye pemilu ini, di Bali, baliho-baliho caleg tumbuh subur di pinggir-pinggir jalan, seperti benih-benih yang bersemaian karena curah hujan yang tinggi. Jika anda menyusuri jalur Jogja-Bali dengan bus AKAP, hanya di Bali saja pemandangan baliho caleg paling ramai bisa dipirsa. Bukan hanya di pinggir jalanan ramai; seperti jamur, baliho caleg berbiak hingga jalanan pelosok desa becek tak beraspal. Semuanya menciptakan pemandangan baru bagi jalanan di Bali; seakan mengusir hiruk-pikuk iklan dengan kesemrawutan yang baru; seakan menggantikan keteduhan pohon-pohon pinggir jalan dengan kegerahan yang warna-warni.

Selamat datang di dunia kemeriahan citra visual dari sebuah pesta rebutan kursi! Inilah dunia citraan yang gemebyar, penuh sapaan manis, warna-warni, ramai, namun banal dan latah. Inilah medan tempur pseudo penuh seruan, ajakan, teriakan, permohonan, dengan baju dan wajah yang klimis tanpa keringat.

Ya, inilah perang baliho antarcaleg, sebagaimana perang bendera partai. Ini bukan sekadar perang merayu calon suara untuk menuju perang perebutan suara di hari H pemilu nanti. Ini adalah perang gengsi antarcaleg. Lewat perang baliho di pinggir jalan, mereka tengah bersaing membuat citra visual yang megah yang bisa dilihat dari jumlah, ukuran, posisi serta penampilan fotografi. Sebelum kemenangan suara bisa dilihat, karena belum pemungutan dan penghitungan suara, saatnya mencari kemenangan gengsi. Saatnya caleg bicara, “Aku bisa (gengsi di mata calon pemilih)!”

Media yang Latah 

Memang, jalanan jadi lebih ramai; sebuah pertanda bahwa masa kampanye ini memang semarak. Tapi semarak pada sisi ini bukan berarti semarak di sisi lainnya, sisi kinerja politik yang benar misalnya. Dan betapa, baliho-baliho itu, yang membikin semarak itu, nyaris semuanya seragam. Ada sekian banyak partai, dan lebih banyak lagi caleg, namun begitu dominan kesamaan baliho mereka. Lihatlah apa yang mereka visualkan: wajah, nama, nomor urut, partai dan sedikit slogan kering. Selesai. Hampir keseluruhannya begitu. Dan jalanan sebagai tempatnya memang sangat potensial untuk peniruan, pengulangan, kelatahan. Jalanan adalah ruang yang berbaring panjang, yang menyerahkan tubuhnya untuk kontes tren demi tren.

Dan memang ada semacam tren yang terjadi dalam media kampanye caleg jenis baliho ini. Tren teknologi baru, dalam hal ini teknik cetak digital di atas colibrite yang dipakai memproduksi baliho-baliho itu, dimanfaatkan oleh para caleg tanpa memperhatikan kualitas substansi dan efektivitas media kampanye. Ini mirip dengan tren handphone yang melanda masyarakat kita hingga ke pelosok-pelosok kampung.

Pada satu sisi, tren adalah manifestasi dari sifat latah manusia. Ia muncul dari peniruan personal demi personal, yang di dalamnya melibatkan pesona sesuatu. Pesona suatu produk dengan konstruksi gengsinya mempengaruhi masyarakat untuk meraihnya, dengan tujuan tertentu atau sekadar mengikuti tren semata, sekadar gaya hidup. Gaya hidup jarang mementingkan substansi karena “substansi”-nya adalah gaya itu sendiri, citra itu.

Barangkali pada sebuah titik, dan ini bisa dilihat pada kenyataan mutakhir, para caleg hanya citra visual semata. Ia bukan sosok yang sebenarnya. Di mata pemilih, mereka berakhir pada citra visual dua dimensi, sebagaimana juga di atas kertas suara. Jean Baudrillard, sebagaimana dikutip Garin Nugroho dan Yasraf Amir Piliang, mengemukakan bahwa media menciptakan second reality yang punya logika tersendiri dan bisa membunuh realitas sosial-politik sebenarnya. Dengan demikian, baliho caleg beserta segenap pencitraan terhadap sang caleg di dalamnya mengalami semacam keterputusan dengan realitas sosial-politik sang caleg di dunia nyata. Demikian juga halnya terhadap realitas politik. Baliho caleg bukan representasi dari ke-caleg-an caleg itu sendiri.

Dan rakyat yang begitu dekat dengan realitas nyata harus memilih!

Komunikasi yang Banal 

Tentang media komunikasi seperti baliho, barangkali para caleg harus belajar pada media-media serupa, salah satunya iklan-iklan kreatif produk konsumsi tertentu. Ini bersangkutan tentang bagaimana menciptakan citra yang menarik dan orisinal, tag line yang mengena, efektivitas media, dan sebagainya.

Hal-hal yang divisualkan caleg dalam baliho-balihonya paling tidak menjadi cerminan bagi kemampuan dan strategi komunikasi mereka. Ini juga menunjukkan seperti apa pandangan mereka terhadap para calon pemilih, sebagian besar orang yang melihat baliho itu. Pandangan ini menyangkut tingkat pendidikan calon pemilih, kecerdasan, pandangan hidup, idealisme, dan tidak menutup kemungkinan pandangan ini sampai pada tataran melecehkan calon pemilih.

Mengapa? Sebab pola komunikasi yang dilakukan para caleg melalui baliho terkesan banal. Strategi komunikasi mereka hanya bermain di permukaan saja. Apakah hanya dengan menampilkan wajah, nama, nomor urut, partai dan sedikit slogan kering sudah cukup untuk menggambarkan kompleksitas sosok seorang caleg? Bahkan cuma dalam profil sebagai seorang politikus pun belum. Seakan tak ada jaminan yang kuat yang diberikan kepada calon pemilih jika memilihnya nanti. Tak ada alasan mengapa orang harus memilihnya, kecuali bahwa orang harus memilihnya.

Barangkali para caleg berpikiran bahwa pada dasarnya baliho sebagai media promosi bertujuan untuk memperkenalkan diri kepada calon pemilih. Bahwa, “Hei, aku ini caleg lho! Nomor urut sekian, dari partai ini.” Namun apakah hanya itu saja yang perlu diperkenalkan? Apakah mengenal saja sudah cukup bagi calon pemilih?

Bahwa baliho hanya merupakan salah satu media promosi, dan masih banyak cara lain yang dilakukan untuk merayu calon pemilih, memang benar. Bahwa para caleg punya banyak duit untuk menggolkan diri di posisi uenak kursi wakil rakyat, barangkali juga tidak salah. Tapi bukankah efektivitas suatu promosi juga menjadi bagian dari strategi politik? Ketika yang terjadi adalah kebanalan yang berulang-ulang dan berserakan di pinggir jalan, perlu diajukan pertanyaan besar kepada para caleg kita yang terhormat: “Apakah anda punya strategi?”

Bukan tidak mungkin jika pada suatu waktu, pada titik balik kemeriahan baliho-baliho caleg pinggir jalan, orang-orang akan melihatnya sebagai sesuatu yang tak ada. Ini adalah dampak dari kebanalan yang berulang, tanpa inovasi, bertele-tele, hingga semuanya menjadi rutinitas, apalagi didukung oleh sikap apatis masyarakat.

Selamat berkampanye!

Negara-Jogja, Desember 2008

Dari Politik Pan Belog ke Politik Pan Balang Tamak


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Para caleg dan partai politik berhati-hatilah!
Rakyat sekarang tak bodoh, tapi banyak akal.

TUDUHAN terhadap partai politik yang tidak memberikan pendidikan politik kepada rakyat tidak sepenuhnya benar. Partai politik telah mendidik rakyat tentang makna politik sebagaimana yang dipraktikkannya. Buktinya kini, di tengah masa kampanye yang demikian panjang, beberapa partai politik lewat caleg-calegnya tengah menyusur hingga ke jalan-jalan becek tak beraspal di pelosok desa. Mereka menjajakan nomor dan nama sambil secara tidak langsung mendidik rakyat di sana, tentu saja dengan manufer yang jitu dan telah jadi tren: money politic!

Kondisi di atas memunculkan kecenderungan bahwa kini pemilu bagi sebagian besar rakyat bukan lagi suatu keagungan mimbar guna menyuarakan cita-cita keberlangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh partai politik, rakyat kini telah dididik untuk memaknai pesta politik – terutama masa kampanye – sebagai mimbar untuk saling berbagi. Ya, saling berbagi kucuran materi dari para caleg, cagub, cabup atau partai politik. Jadi tidak salah ketika rakyat sebuah desa di pelosok Jawa Tengah dalam masa kampanye Pilgub Jateng lalu mengeluh, “Kok sepi ya? Nggak ada yang bagi-bagi beras kayak dulu.”

Begitu pula di sebuah banjar di pelosok utara Jembrana. Ketika beberapa caleg masuk menawarkan bendera dan wajahnya yang tersenyum santun, masyarakat banjar itu pun cerdik. Mereka seakan dengan otomatis membelah jadi beberapa kelompok, kemudian masing-masing mendekati satu caleg, tepatnya mendekati isi kantongnya. Dari proses pendekatan ini terlihatlah hasil kecerdikan rakyat. Jalan-jalan tak beraspal yang sebagian besar konturnya curam dan selalu becek saat musim hujan, sehingga tak bisa dilewati sepeda motor, mendapat “sumbangan” pembetonan, walau sekadar sejalur sepeda motor. Demikian pula sekaha angklung bisa menambal kekurangan beberapa instrumen dengan “bantuan” kocek para caleg.

Pan Belog sudah Jadi Pan Balang Tamak 

 Setelah belajar dari sekian banyak pengalaman pilbup, pilgub dan pemilu, masyarakat tak lagi menjadi Pan Belog yang selalu kabelog-belog. Rakyat bilang, “Bukan saatnya lagi kita diperdaya!” Kini saatnya rakyat nyalanang daya, seperti Pan Balang Tamak yang terkenal sing kuangan daya. Ya, karena politik praktis di Indonesia sekarang adalah daya (bahasa Bali), dayan partai politik. Karena kini, menurut Goenawan Mohamad, orang memandang politik dengan cemooh. Partai-partai berpura-pura menja­lankan politik, namun sejatinya mereka melecehkan politik itu sendiri sebagai sesuatu yang layak diremehkan.

Maka jangan heran kalau kini senjata utama seorang caleg adalah kalkultor. Hari-harinya dipenuhi dengan kesibukan menekan-nekan tombol kalkulator, karena di matanya rakyat memang deretan angka-angka, bukan suara-suara pengharapan tentang masa depan. Kalkulator para caleg menghitung berapa rupiah untuk berapa peluang contrengan pada nomor atau namanya nanti.

Melihat kecenderungan yang telah berlangsung lama itu, walau tak punya kalkulator, rakyat yang telah menjadi Pan Balang Tamak pun nyalanang daya: siapa yang pegang caleg ini untuk “bantuan” membeton jalan di sebelah sana, siapa pegang caleg itu untuk “sumbangan” penambah instrumen angklung yang belum lengkap, dan seterusnya. Setelah lama diangkakan, rakyat kini malah akrab dengan angka-angka. Dengan cerdik rakyat mengatur siasat, walau banyak dari mereka yang belum mengambil sikap mau memilih yang mana saat pemilu nanti. Siasat mereka untuk membelah jadi beberapa kelompok yang seolah-olah memberikan dukungan pada caleg masing-masing merupakan sikap politik rakyat yang nyalanang daya sekaligus madadayan.

“Daya”: Akal dan Kehati-hatian 

Kata “daya” dalam bahasa Bali merupakan istilah yang cukup tepat untuk menyebut makna “politik” dalam kondisi Indonesia sekarang. Jika ditelusuri lebih mendalam, “daya” memiliki makna yang tunggal. Namun dalam perkembangan kebahasaan Bali, terutama ketika berurusan dengan padanan kata dalam bahasa Indonesia, paling tidak ia mempunyai dua makna: akal (misal: jlema sing kuangan daya – manusia tidak kekurangan akal) dan kehati-hatian (misal: dayanin majalan apang sing labuh – hati-hati berjalan agar tak terjatuh). Dalam konteks tertentu, kedua makna ini bisa menjadi dua kekuatan yang paradoksal: kehati-hatian untuk menangkal akal lawan, dan akal pun bisa jadi merupakan alat untuk mengelabui kehati-hatian lawan.

Dalam konteks politik Indonesia yang sedang kita bicarakan, “daya” dengan kedua maknanya telah lama jadi senjata partai politik dan kaki-tangannya untuk meluncurkan manufernya dalam menarik coblosan rakyat. Berbagai akal, yang telah tak bersekat lagi dengan makna tipuan, diberlakukan melalui berbagai program, janji serta strategi politik yang hasilnya telah kita tahu bersama. Dalam menjalankan akal ini, partai politik pasti menerapkan kehati-hatian yang cukup rigid agar akalnya tidak menjadi bumerang atau bocor ke partai politik lain.

Dan kini rakyat pun menciptakan senjata dua makna “daya” itu. Ketika rakyat telah mengetahui bahwa program dan janji partai politik adalah pepesan kosong belaka, sekadar manifestasi dari dayan atau akal-akalan partai politk, maka menerjemahkan politik pada makna sebenarnya adalah sia-sia belaka. Rakyat kemudian melawan akal itu dengan akal pula. Di sini politik seakan menjadi medan tempur terselubung antara partai politik dengan rakyat. Caleg yang kampanye dengan duit diakali rakyat agar duit itu mengucur sebanyak-banyaknya untuk kepentingan rakyat, baik secara personal maupun komunal. Masalah contreng-mencontreng saat pemilu, itu perkara nanti. Berkhianat pun bukan masalah lagi, karena pengkhianatan juga adalah bagian dari ilmu akal partai politik yang kemudian diajarkan kepada rakyat.

Jika politik daya Pan Balang Tamak memang menjadi pilihan atau strategi dari rakyat, untuk menghindari kabelog-belogin buin, maka rakyat harus menerapkan ilmu daya dalam makna kehati-hatian, terutama dalam tataran horisontal. Berbelah menjadi beberapa kelompok untuk mendekati caleg yang berbeda, untuk “melayani” akal money politic mereka, harus dimaknai sebagai keterbelahan untuk akal semata, keterbelahan yang pura-pura, hanya daya. Ini harus dipegang teguh. Adalah kebodohan yang terulang jika keterbelahan ini menjadi sumber konflik sebagaimana pengalaman-pengalaman sebelumnya. Kehati-hatian diperlukan agar tak larut dalam emosi keterbelahan yang sebenarnya diciptakan sebagai kesemuan belaka. Sebab, sekali lagi, politik di Indonesia sekarang hanyalah semu semata. Nihilisme yang merayap dan mengambil tempat dengan tenang, kata Goenawan Mohamad.


Pancaseming, Desember 2008

“Homo Pariwisatabaliensis”


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Spesies yang militan!

SEBUAH surat pembaca dari seorang masyarakat Badung di harian terbesar di Bali pada pertengahan November 2008 menyarankan suatu strategi tentang pembangunan Bali mutakhir. Penulis surat di antaranya menyarankan tentang sistem keamanan Bali yang harus melibatkan seluruh masyarakat yang ada di Bali, dengan memberikan insentif memadai bagi masyarakat pemberi informasi yang falid kepada pihak berwajib. Selanjutnya ia menulis tentang manusia Bali, budaya Bali serta pariwisata yang merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Dan yang paling penting adalah pembuka surat yang merupakan muara dari seluruh sarannya, yaitu Bali sebagai bangunan pariwisata yang kokoh dan tegar.

Apa yang bisa dibaca dari surat pembaca itu di antaranya adalah bahwa pengukuhan terhadap entitas Bali sebagai suatu daerah industri pariwisata sehingga dikhawatirkan entitas itu akan rapuh jika manusia Bali, budaya Bali dan pariwisata dicerai-beraikan. Dengan demikian, seluruh orang yang ada di Bali harus turut serta aktif menjaga keutuhan entitas tersebut dengan tindakan nyata, misalnya dengan melaporkan masalah keamanan seperti keberadaan orang mencurigakan. Atas peran serta aktif tersebut, masyarakat akan diberikan imbalan yang pantas dalam bentuk material tentu saja.

Memang benar bahwa manusia Bali, budaya Bali dan pariwisata adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan – atau lebih tepatnya, jangan sampai dipisahkan karena payuk jakan bisa buung makedus. Namun tentu saja ini bagi orang yang menikmati buah dari pohon besar pariwisata Bali. Orang Bali – apalagi orang luar Bali – yang sama sekali tidak memetik buah itu, baik karena pohonnya yang tak terjangkau atau karena sengaja memilih untuk tak memakan buah dari pohon itu, barangkali akan memandang hal terakhir sebagai sesuatu yang terpisah sama sekali atau justru harus diceraikan jika ada yang hendak menyatukannya.

Dapat dipahami pemikiran orang-orang Bali yang memetik buah pariwisata sehingga mereka memberi sokongan maksimal terhadap pohon kehidupannya itu. Mereka adalah orang-orang yang merasa telah dihidupi oleh pariwisata, baik secara ekonomi, politik, sosial maupun budaya. Bukan cuma sebentuk kehidupan yang layak, namun mereka telah mendapat prestise, gengsi dan gaya hidup yang lebih. Mereka adalah orang-orang yang telah merasa diangkat harkat dan martabatnya oleh eksistensi pariwisata. Mereka adalah orang-orang yang menikmati eforia citra Bali dalam konstruksi turistik: unik, nyeni, indah, ramah, eksotis, religius. Mereka adalah orang-orang yang memiliki bayangan tentang identitas Bali sebagaimana yang dicitrakan oleh industri paiwisata. Mereka adalah para Homo pariwisatabaliensis – istilah penunjuk spesies yang saya gubah sendiri, mengadopsi istilah bidang arkeologi.

Homo pariwisatabaliensis termasuk dalam kelompok spesies yang dirundung kepanikan luar biasa ketika bom meledak di Kuta, 12 Oktober 2002. Mereka kemudian menanam kebencian yang mendalam terhadap teroris. Demikian mendalam sehingga kebencian itu juga diarahkan pada latar belakang sosioreligi orang-orang yang diklaim teroris itu. Dan tentu saja mereka turut bersorak di atas kematian Amrozi, Mukhlas dan Imam Samudra yang (konon) telah dieksekusi oleh tiga regu tembak di Nirbaya.

Pariwisata Bali sebagai sistem yang dibangun oleh kapitalisme global dan diberikan jalan yang amat mulus oleh rezim Orde Baru, dengan kepentingan ekonomi dan kuasa yang nyata, memberikan bujuk rayu dan buaian yang serasa nyata pula bagi orang Bali sebagai mahluk yang menghidupi dan dihidupi budaya Bali. Sistem ini bekerja secara terstruktur: bujuk rayu dan pujian berlebih di tahap awal, lalu janji kemakmuran dan pelestarian budaya, keuntungan material – yang tak seberapa dibandingkan hasil keuntungan sebenarnya –, pencokolan doktrin-doktrin kapitalis yang dengan lihai menyelusup ke dalam ruang konsep kearifan lokal, pendidikan ke arah materialistis dan semangat industralisme lainnya, sehingga terciptalah karakter spesies Homo pariwisatabaliensis yang diinginkan, salah satunya militansi yang luar biasa terhadap kuasa yang tak tersadari. Ya, tak tersadari karena para Homo pariwisatabaliensis selalu dibuai dalam setiap langkahnya.

Keterkuasaan dan berbagai keuntungan yang diperoleh Homo pariwisatabaliensis itu seakan sah dan halal ketika kuasa yang lain, yaitu pemerintah, melegalkan bahkan menjadikannya bangunan agung sumber kemakmuran. Ini barangkali karena bagi orang Hindu Bali, sebagian besar Homo pariwisatabaliensis itu, mempercayai bahwa pemerintah adalah guru wisesa – salah satu guru dalam ajaran Catur Guru, di mana satu yang lainnya adalah Sang Hyang Widhi Wasa. Di sini tampak petunjuk bahwa pemerintah masih dipercaya sebagai pembawa kebenaran bagi masyarakat (baca: orang Hindu Bali).

Militansi para Homo pariwisatabaliensis terhadap pariwisata Bali kemudian dengan mudah dibaca sebagai militansi terhadap kuasa kapitalisme (Barat) dan pemerintah (terutama pusat), yang sekali lagi tak tersadari. Pada titik tertentu kondisi mutakhir, orang Bali yang telah masuk menjadi spesies Homo pariwisatabaliensis mengalami “kekeliruan” atau paling tidak kegamangan dalam mendefinisikan identitas dan entitas dirinya dalam lingkungan sosiokultural, sebagaimana yang terbaca dalam surat pembaca di atas. Mungkin akan lebih jelas dan tangkas jika mereka mengakui identitasnya sebagai apa yang saya namakan sebagai Homo pariwisatabaliensis.

Sejatinya, pandangan para Homo pariwisatabaliensis tentang manusia Bali, budaya Bali serta pariwisata yang tak dapat dipisahkan itu adalah hasil pemikiran yang penuh teriak eforia hingga memejamkan mata dan membisingi telinga, sehingga trance akan keberadaan dirinya sendiri. Ia tidak sadar bahwa sebenarnya industri pariwisata (di) Bali sekarang dapat bergerak dengan mulus tanpa orang dan budaya Bali! Pariwisata Bali mutakhir, dengan agen-agen kapitalisme global dan strategi konstruksi yang tangguh sejak awal, telah mencapai tingkat produksi dan kinerja yang dapat menegasi bahkan menafikan orang dan budaya Bali. Ia sudah mampu menciptakan produk yang mandiri, baik itu infrastruktur maupun barang dagangan, yang sudah bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan budaya tradisi Bali, walaupun sebelumnya merupakan adopsi dan tiruan produk budaya Bali tradisi. Ia juga telah dijalankan dan dikendalikan dengan brilian oleh orang-orang bukan Bali, sehingga mungkin saja spesies Homo pariwisatabaliensis dapat dipunahkan hanya dengan sekali click saja.

Bersiaplah!


Moding, November 2008

Tubuh Orang Hindu Bali dalam Laku Seni dan Laku Upacara


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Jujurkah tubuh orang Hindu Bali mutakhir
dalam melakoni seni dan upacaranya?

SAYA baru saja mengikuti sebuah diskusi dan menonton video dokumenter tentang workshop seorang penari Jepang bernama Min Tanaka. Salah satu metode yang dilontarkan Tanaka dan menarik bagi saya adalah tentang kejujuran tubuh manusia dalam bergerak, baik dalam konteks tari maupun gerak keseharian, sehingga ekspresinya menjadi suatu hal yang "berbeda", unik, menarik, baru. Saya sendiri belum paham benar apa yang dimaksudkan Tanaka sebagai kejujuran itu. Namun lontaran itu menyeret saya kepada diskursus yang barangkali berbeda dan barangkali juga begitu dekat dengan yang dimaksudkan Tanaka. Diskursus yang saya maksud adalah tentang tubuh orang Hindu Bali dalam kaitannya dengan berbagai upacara serta seni yang menjadi keseharian – walau tidak semua – orang Hindu Bali.

Orang Hindu Bali memiliki konsep tentang bhuana agung dan bhuana alit, jagat besar dan jagat kecil, alam semesta dan tubuh manusia. Pola hubungan antara kedua jagat ini oleh orang Hindu Bali dibangun melalui sistem serta pola fisik dan transenden. Hubungan ini diciptakan untuk mencapai "kehidupan yang lebih baik", dengan kebutuhan duniawi sebagai pembenaran dalam hal hubungan fisik dan agama Hindu Bali sebagai pembenar hal transenden. Di samping itu, ada pula pembenar-pembenar lain yang digunakan, seperti keyakinan metafisik tertentu, filsafat lokal, ajaran lainnya serta seni.

Sistem-sistem hubungan itu yang didasari oleh keyakinan ditransmisikan secara turun-temurun lalu menjelma sebagai tradisi. Eksistensinya sebagai sesuatu yang telah mentradisi tidak serta merta memposisikannya sebagai sebuah ekspresi kejujuran bagi orang-orang yang melakukannya. Sebab dalam sebuah tradisi, unsur kolektif sangat kuat mengikat. Sedangkan kejujuran sendiri lebih merupakan hal yang individual.

Tubuh yang Diserahkan
Saya teringat Michel Foucault yang berbicara tentang kuasa-kuasa tertentu yang melakukan pengaturan terhadap tubuh individu. Misalnya, individu sebagai warga negara "menyerahkan" tubuhnya kepada kuasa pemerintah melalui kepatuhan terhadap berbagai hukum yang mengatur laku tubuh warga negara. Dalam hal ini tubuh individu diatur atau dibentuk sedemikian rupa, baik karakter maupun lakunya, agar sesuai dengan tata nilai tertentu yang dianut oleh suatu negara.

Dalam wilayah budaya Hindu Bali, sejak tubuh seseorang belum terlahir ke bumi, ia telah diperlakukan dengan upacara. Hal ini terus berlangsung hingga tubuh itu ditinggalkan jiwa dan akhirnya dimusnahkan sisi kebentukannya. Upacara demi upacara membentuk tubuh orang Hindu Bali dalam menapaki kehidupan, atau dalam lingkup waktu yang lebih kecil yaitu dalam hidup kesehariannya. Hingga ketika kematian pun upacara tetap berusaha memberikan "bentuk" terhadap tubuh itu.

Dengan demikian, orang Hindu Bali menyerahkan tubuhnya selama umur tubuh itu kepada upacara demi upacara yang dikonstruksi oleh ajaran agama yang sebelumnya telah – dianjurkan untuk – diyakini oleh orang Hindu Bali sendiri. Pembentukan itu, baik secara karakter fisik, psikis, maupun dalam hubungan transindividual, di satu sisi menempati posisi yang praktis dan verbal dalam keseharian. Di sisi lain pembentukan dilakukan untuk mewujudkan simbol-simbol tertentu yang menyangkut nilai-nilai keutamaan hidup. Hal ini memiliki pembenarannya dalam ajaran agama.

Kita lihat salah satu contoh dalam upacara mapandes atau masangih, misalnya. Dalam upacara ini orang Hindu Bali "menyerahkan begitu saja" tubuhnya, atau lebih spesifik giginya, terhadap upacara untuk dihilangkan bagian-bagian tertentunya. Ini merupakan salah satu bentuk penyerahan tubuh secara fisik terhadap upacara, di mana gigi orang Hindu Bali dikikir bagian-bagian tertentunya sehingga mengalami pengurangan dan mencapai perubahan bentuk tertentu.
Di samping pembentukan secara fisik, upacara mapandes juga turut membentuk tubuh orang Hindu Bali secara simbolik. Tubuh yang telah diserahkan terhadap upacara ini dikonstruksi sehingga tercipta simbol-simbol tertentu dalam tubuh itu sendiri, berkaitan dengan nilai-nilai seperti penghilangan kekuatan-kekuatan jahat atau hawa nafsu yang sebelumnya menguasai tubuh. Di sini pula tubuh diinisiasi menjadi suatu konstruksi yang melibatkan tingkatan kehidupan tertentu menurut agama, sehingga secara simbolik tubuh secara kompleks mengalami peningkatan taraf kedewasaan. Dalam konsep tentang kedewasaan ini sendiri ada nilai-nilai keutamaan yang harus diemban oleh tubuh.

Dalam ranah lain kehidupan orang Hindu Bali, ada pula seni sebagai pranata yang juga turut membentuk tubuh orang Hindu Bali. Berbeda dalam konteks upacara yang saya contohkan di atas, di mana tubuh dibentuk sesuai nilai-nilai ajaran agama, dalam pranata seni tubuh dibentuk untuk menuju apa yang dinamakan dengan tubuh estetis. Contoh mudah dalam kasus ini adalah dunia seni tari.

Seni tari di Bali, sebagaimana juga di belahan lainnya di dunia, mempunyai pakem dan nilainya tersendiri yang terejawantah dalam gerak dan simbol melalui media tubuh. Tubuh dilatih atau dibentuk untuk dapat mencapai taraf terampi yang ukuran nilainya adalah pakem dan simbol. Dengan seni tari, tubuh mengalami perubahan secara fisik dan dalam laku ketika menari tubuh juga diberikan beban simbol yang sekaligus di dalamnya terdapat makna dan nilai.

Keyakinan dan Kejujuran Tubuh
Seni tari dan upacara di Bali memang sudah menjadi tradisi. Dan tradisi selalu didasari oleh konsep yang tidak lain adalah suatu keyakinan. Konsep ditransmisikan secara turun-temurun melalui laku.

Pentransmisian kompleksitas laku tradisi secara turun-temurun kadang mengalami distorsi. Ada segi-segi yang hilang. Ini biasanya terjadi salah satunya ketika tradisi dikultuskan oleh orang-orang yang menghidupinya. Tradisi dimaknai hanya sebagai laku semata, yang harus dipraktikkan dalam keseharian, tanpa mengecek konsep apa sebenarnya yang mendasari, yang menjadi keyakinan, dari tradisi itu.

Ketika tradisi hanya laku, dalam arti tidak didasari dengan pemahaman terhadap dunia ide atau konsep yang mendasarinya, maka tradisi pun cuma rutinitas yang bebal dan kosong. Orang-orang yang mempraktikkannya hanya didasari oleh suatu stigma bahwa itu adalah kewajiban umat. Atau di sisi lain, dalam kerangka kolektivitas, tradisi dipraktikkan hanya untuk menjaga norma kesopanan antarsesama pewaris tradisi.

Tubuh pelaku tradisi pun menjadi tubuh yang buta dan tidak jujur ketika tradisi bukan lagi dipraktikkan atas dasar keyakinan akan konsep yang ada di balik laku yang dianjurkannya. Ini disebabkan karena tubuh itu tidak memiliki keyakinan dengan laku yang dipraktikkannya. Hal ini akan diperparah lagi ketika konsep atau keyakinan lain memasuki tubuh itu.

Bagi orang Hindu Bali, silakan tanyakan pada diri sendiri apakah tubuh Anda jujur mempraktikkan berbagai upacara atau seni yang selama ini ditradisikan?


Jogja, Oktober 2008

Seni dan Gengsi


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Ayo nyeni untuk nggaya!

"ORANG Bali tidak bisa melihat bidang kosong. Tangan mereka selalu gatal ingin mengukirnya." Ini hanya guyonan seorang teman. "Eda baang polos kéto. Payasin gigis gén." Ini saran seorang tetua ketika membangun tempat banten menjelang sebuah upacara di kampung saya.

Ada beberapa pernyataan analitis yang mengatakan bahwa perilaku seni orang Bali dapat dilihat dari hal-hal kecil dalam kesehariannya. Lihatlah, gagang pisau dapur yang tidak dibiarkan polos namun diisi sedikit cukilan motif sederhana, begitu juga dengan talenan kayu, atau perkakas dapur lainnya. Hal kecil ini akan menjadi demikian rumit ketika kita menilik berbagai jenis banten atau sarana upacara lainnya, namun tidak meninggalkan kesannya yang "kecil".

Bentuk-bentuk praktik kehidupan di atas mengindikasikan bahwa ada sisi-sisi estetis yang disertakan pada hal-hal yang fungsional dalam hidup keseharian. Nilai fungsional dan esetetis ini mewujud dalam suatu bentuk yang muaranya adalah memerankan kehidupan. Di sana bentuk itu menunggal, menjadi satu keutuhan, tidak tercerai berai oleh kungkungan pengkategorian. Sehingga dalam hidup keseharian orang Bali tidak ditemukan munculnya pretensi untuk membedakan hal mana yang memiliki nilai fungsional dan mana yang estetis. Bahkan barangkali orang Bali – tanpa pengaruh analisis dari ilmu – tidak mengetahui tentang kategori nilai tersebut.

Dalam penyikapan yang demikian, seni bukanlah suatu pranata yang mandiri. Ia adalah sesuatu yang "include". Bahkan penamaannya sebagai seni pun tidak ada – hal yang barangkali menyebabkan tidak adanya kosakata untuk menyebut kata "seni" dalam bahasa Bali. Ia hanyalah salah satu bagian dari sekian banyak modus pelakonan kehidupan, dari kompleksitas praktik kebudayaan, namun tidak serta merta kemudian dapat dihilangkan. Barangkali akan terjadi kecacatan pada modus pelakonan kehidupan jika ia dinihilkan, sebab dalam suatu titik ia adalah juga jiwa pelakonan hidup.

Namun pada akhirnya di Bali seni pun dipranatakan secara mandiri oleh orang Bali, walaupun masih ada beberapa yang berperan mendukung pranata-pranata kehidupan lain seperti upacara agama. Ketika hal ini terjadi, maka ada pretensi untuk menjadikan seni itu untuk seni semata, an sich. Ia kemudian mewujud menjadi bentuk-bentuk yang kita sepakati sebagai benda seni atau kesenian. Selanjutnya, di tangan orang-orang yang menghidupinya, yang oleh bahasa modern kemudian disebut seniman, ia punya potensi untuk menjadi sesuatu yang besar, sesuatu yang mengambil kapling cukup luas dalam ranah kebudayaan orang Bali.

Mengambil posisi sebagai sesuatu yang besar adalah merebut prestise. Dan prestise itu mahal. Anggapan umum mengatakan kemahalan sebagai kosekuensi logis dari perjuangan kerasnya untuk menjadi besar. Kemahalan hanya bisa diraih oleh orang-orang yang mengatasi kemahalan itu sendiri. Peraihan terhadapnya adalah otomatis juga prestise bagi yang meraih atau menjangkau kemahalannya.

Maka seni tidak lagi milik semua orang. Ia bukan lagi milik dan ekspresi kolektif. Ia dibikin oleh individu, dibeli oleh individu, kadang bisa dinikmati secara kolektif. Namun penikmatan semacam ini tidak dengan serta merta membuat penikmat atau audiance-nya merasa memiliki seni itu karena kuasa diskursus tentang peraihan terhadap seni yang mahal seakan sudah diakui secara kolektif.

Lihatlah upacara-upacara besar yang diselenggarakan oleh sebuah keluarga, misalnya. Di sana, seni dijadikan sebagai legitimasi (kemewahan) penyelenggaraan upacara itu. Memang, ada beberapa seni yang digunakan sebagai legitimasi upacara tertentu, yang mana seni macam ini kemudian digolongkan sebagai seni wali atau sakral. Namun yang dimaksudkan di sini adalah seni-seni hiburan yang memang tidak diharuskan ada dalam suatu upacara. Seni semacam ini kemudian menjadi salah satu simbol dari unjuk kekayaan material dari pelaksana upacara. Ia menjadi prestise upacara, melahirkan nilai gengsi yang tinggi. Terjadi pergeseran, dari peraihan sebagai pengapresiasian atau penikmatan terhadap fungsi-fungsi seni menjadi pengambilan terhadap prestisenya semata.

Jogja, September-Oktober 2008