Mati “Leteh”


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Awas!
Orang luar Bali dilarang mati di Bali!
Apalagi mati di sembarang tempat. 

SEMAYAT orok terbuang di selokan. Seorang pemulung mati di dasar jurang karena terpeleset dan jatuh. Turis terbunuh di kamar hotel. Ada mayat tergeletak di depan pura. Mayat hanyut di sungai. Mayat membusuk di semak-semak. Mayat teronggok di tempat sampah. Mayat mengambang di muara.

Semua itu – dan banyak lagi contoh lain – sering disebut sebagai penyebab leteh. Tempat mayat itu ditemukan, atau desanya secara luas – dalam struktur kewilayahan adat Bali – jadi leteh karenanya. Pandangan ini berkeyakinan bahwa mayat-mayat itu mengandung kotoran. Badan manusia mati itu kotor. Sehingga tempat penemuannya pun mejadi kotor. Maka upacara harus digelar untuk "membersihkan" tempat itu, sehingga leteh atau kotor tersingkirkan, ternetralisir.

Dalam tradisi Hindu Bali, para kerabat orang yang meninggallah yang berkewajiban melakukan upacara pembersihan. Ada semacam pembebanan ke-leteh-an terhadap kerabat yang masih hidup. Lalu ketika itu adalah mayat orang yang bukan Hindu Bali, apalagi bukan warga tempat di mana mayatnya ditemukan, timbul masalah. Siapa yang harus menanggung upacara pembersihan leteh? Kerabatnya? Mereka tak memiliki keyakinan tentang pembersihan semacam itu. Bahkan mungkin keyakinan pribadi mereka bertentangan dengan upacara yang demikian. Krama desa setempat? Mereka tak mau atau keberatan – barangkali karena merasa dirugikan dua kali: setelah desanya di-leteh-i, harus menanggung upacara pembersihannya pula.

Kasus semacam ini kemudian memunculkan wacana penuduhan terhadap orang luar (non-Hindu Bali: Jawa dan turis mancanegara) yang ada di Bali, bahwa mereka punya potensi besar dalam ngletehin gumi Bali, terutama leteh yang dalam kurun waktu yang lama tidak dibersihkan. Yang kena getahnya tidak lain adalah orang Hindu Bali sendiri. Kemudian menurut para pewacana ini, derasnya arus mobilitas sosial orang luar ke Bali menjadi pemicu besar masalah ini. Katanya, orang luar cenderung memberlakukan ruang-ruang di Bali tidak dalam kerangka keyakinan orang Hindu Bali.

Untuk mencegah terjadinya leteh karena ulah mereka, salah satu jalan yang ditempuh orang Hindu Bali adalah dengan proteksi wilayah dari masuknya orang-orang luar, apalagi untuk bermukim. Ini adalah pemikiran antisipatif yang fundamentalis. Contoh kecil realisasi proteksi ini yang bisa kita lihat adalah plakat "Pemulung Dilarang Masuk" yang berjaga di pintu masuk beberapa desa. Anggapannya, pemulung adalah orang luar. Tak ada orang Bali jadi pemulung. Di samping itu ada pandangan stereotip bahwa banyak orang luar, terutama yang kerja kasar, hidup mengelandang. Tidur di tempat sembarang. Ada kekhawatiran kalau mereka akan melakukan perbuatan kotor di tempat-tempat yang mereka singgahi. Sehingga mereka harus dilarang memasuki desa. Berkaitan dengan kematian yang menyebabkan leteh desa, barangkali ada juga ketakutan jika pemulung itu akan mati di wilayah desa.

Maka, orang luar Bali dilarang mati di Bali! Apalagi mati di sembarang tempat.

Saya seperti terlalu membesar-besarkan masalah. Tapi beberapa kenyataan sosial empirik di Bali memperlihatkannya dengan nyata atau tersembunyi. Hal ini tumbuh salah satunya karena stereotip dan kecemburuan sosial sehingga memicu kebencian sosial dalam diri orang Bali. Celakanya, konflik sosial ini dibenarkan dengan kilah dan dasar yang "kuat": agama Hindu.

Saya orang yang tidak mendalami ajaran kitab-kitab Hindu. Tapi saya selalu tidak setuju jika agama dijadikan alat untuk membatasi relasi dan interaksi antarmanusia, agama sebagai pemantik konflik sosial, apalagi untuk menafikan rasa kemanusiaan.

Kematian adalah masalah kemanusiaan. Mati adalah siklus alamiah manusia. Jasad manusia yang telah mati layak diperlakukan secara manusiawi. Kita tentu saja paham hal ini. Bahkan mayat terpidana mati pun masih diberi penghormatan. Apalagi Hindu Bali yang punya ritual penghormatan dan pemberlakuan yang demikian kompleks dan sakral terhadap jasad orang mati.

Orang mati adalah sosok yang jauh lebih tidak berdaya dari bayi yang baru lahir. Rasa kemanusiaan mendorong orang-orang yang masih hidup untuk memberlakukannya sehingga ia mendapat tempat yang layak secara jasmani – karena secara rohani tidak bisa kita ketahui hasil kelayakannya. Sementara bisa dibedakan antara jasad jasmaninya dengan sejarah hidupnya yang barangkali dijejali sikap dan laku yang dikategorikan leteh. Sehingga dengan demikian, tuduhan (penyebab) leteh tidak ditujukan kepada keberadaan mayatnya.

Dalam pemahaman saya, leteh adalah perihal energi yang mendorong jasmani melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kerangka pemikiran tentang kebenaran atau kemuliaan. Leteh bukan hal kejasmanian, apalagi jasmani yang tak lagi dipaut oleh jiwa. Demikian pula upacara pembersihan leteh. Wujud jasmaniahnya hanyalah simbol. Yang terpenting tentu saja energi yang berada di dalamnya. Dan energi ini sangat erat kaitannya dengan iman dan keyakinan.

Hal lain yang perlu dikoreksi lagi, berkaitan dengan anggapan terhadap mayat yang menyebabkan leteh, adalah tuduhan terhadap mayat-mayat yang "tidak pada tempatnya", terutama berkaitan dengan penyebab kematiannya. Banyak dari mereka yang mati karena dibunuh. Bukankah keliru ketika kematian semacam ini dituduh menyebabkan leteh? Bukankah perbuatan pembunuhnya itu yang leteh? Atau jika mereka mati tak diinginkan, karena jatuh, terpeleset, tiba-tiba serangan jantung, di tempat-tempat "yang tidak semestinya", leteh-kah mereka? Siapa bisa memilih tempat untuk mati?

Jogja, Agustus 2008

2 komentar:

Anonim mengatakan...

sebuah kontradiksi situasi sosial yang memang rupanya dibiarkan dan seolah dibenarkan atau ada 'pengabaian' dan ada juga yang secara 'malu - malu' dan terselubung merasa diuntungkan dengan situasi dan keyakinan seperti ini :-)

Dengan kondisi sosial dan 'kompetisi' mencari makan yang semakin ketat dan kompleks baik dimaui atau tidak dimaui friksi-friksi sejenis ini emang akan selalu ada bro dan entah kenapa kok selalu agama yang dijadukan alat pembungkus kemasan, tidak hanya di Bali tapi ditempat lain bahkan diwajah Indonesianyang namanya Jakarta, Agama juga dijadikan bungkus kemasan untuk melakukan perbuatan jahat kepada manusia lainnya...hhhh tarik nafas panjang deh...

Anonim mengatakan...

Knp selalu sangkut paut ke agama, Bro??? Leteh dan upacara pembersihan itu adalah bagian dari adat dari daerah yg bernama Bali. Setiap daerah ada aturan sendiri yg menjadi ciri khas daerah tsb.. Contohnya di Sulawesi Selatan ada daerah yg didiami oleh suku Kajang, dimana suku Kajang beragama Islam yang mengharuskan manusia yg menghuni atau berkunjung ke daerah itu memakai baju hitam-hitam, jadi jgn salahkan klo mereka mengusir anda jika memakai baju putih misalnya..

Kembali ke permasalahan "leteh", saat orang Hindu Bali bermukim di luar bali, maka tidak ada lagi aturan tentang leteh itu. Pernahkah anda lihat orang Bali di Jakarta melakukan upacara pembersihan untuk tetangganya yg misalnya bunuh diri??? Jadi menurut sy aturan tersebut yg anda bahas adalah aturan desa adat bukan agama...
Aturan Agama mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, serta hubungan pribadi dengan pribadi yg beragama sama.. Aturan Adat mengatur semua yg ada di wilayah adat..

Posting Komentar