Dan Drama Gong Itu ...


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Apakah Bali memang tak lagi
membutuhkan drama gong?

SALAH satu keunggulan sebuah kebudayaan adalah kemampuannya untuk berubah. Untuk berubah, sebuah kebudayaan harus meraih sesuatu. Untuk berubah, sebuah kebudayaan harus rela kehilangan sesuatu. Dan kehilangan harus dicatat. Karena keunggulan lain dari sebuah kebudayaan adalah kemampuan dan kebetahannya untuk mencatat kehilangan demi kehilangan. Lalu untuk tidak melupakannya.

Tapi kehilangan bukanlah dosa. Barangkali bukan pula kesalahan. Hanya sedikit kekeliruan. Untuk menyenangkan hati, kita sebut saja sebagai keniscayaan zaman.

Ini adalah secarik catatan tentang kehilangan dari sebuah kebudayaan bernama Bali. Ya, walaupun belum sepenuhnya, Bali tengah menghadapi tanda-tanda akan kehilangan drama gong, sebuah bentuk teater yang belum terlalu lama kelahirannya, dibanding dengan bentuk-bentuk teater tradisi Bali pendahulunya. Kejayaannya di masa 1980-an hingga pertengahan 1990-an hanya “puncak kesementaraan”, di mana salah satu bentuknya mencapai kemapanan. Belum ada bentuk-bentuk baru, hasil upgrade baru, yang muncul, apalagi mapan. Pengulangan demi pengulangan yang dilakukan membosankan bagi penonton dan bagi orang-orang drama gong sendiri.

Makanya, siapa yang mau menonton drama gong sekarang? Bahkan di kamarnya sendiri, orang telah terlalu berlimpah dengan hiburan. Pun, siapa yang mau memainkan drama gong lagi? Petruk dan Dolar sudah main lawakan secara idependen di panggung lawak dan televisi, lepas dari komunitas drama gong yang lama membesarkannya. Mereka juga sudah ditarik industri hiburan televisi untuk main lawakan sepintas lalu atau berperan dalam video iklan produk-produk komersial. Beberapa pemain lain terdengar mencoba peruntungan di dunia politik praktis.

Apakah Bali memang tak lagi membutuhkan drama gong?

Selera Massa yang Dipermainkan
Dengan berbekal teori evolusi budaya, Koes Yuliadi (2005) mencatat masa kejayaan drama gong sebagai sebuah bentuk produk seni pertunjukan yang lebih mewakili kegelisahan, pandangan dan selera masyarakat. Menurutnya, drama gong mengambil hati masyarakat dan kemudian memudarkan popularitas arja dan topeng. Sebelumnya, topeng pernah menggeser posisi popoler gambuh di hati masyarakat.

Dan kini drama gong digempur dari segala lini oleh sebuah kekuatan besar yang menjelma di sekian banyak tubuh agen perubahan kebudayaan. Yang digempur sebenarnya bukan drama gong secara langsung, namun massa dengan tawaran-tawaran citra yang menggugah selera, merangsang pencapaian sebentuk gaya hidup baru. Drama gong lalu ditinggalkan massa, ditinggalkan penonton dan calon-calon penontonnya.

Di tengah arus teknologi informasi yang demikian cepat sekarang ini, selera massa memang tengah dipermainkan. Massa dijejali oleh citra demi citra yang selalu memunculkan keheranan dan prestise. Setelah televisi, massa diberikan VCD player, lalu handphone, lalu .... Seakan tak diberikan kesempatan untuk bernapas, massa disugesti untuk meninggalkan apa yang baru saja diraihnya untuk menuju ke peraihan berikutnya yang lebih bergengsi.

Dalam hal permainan yang membuahkan peninggalan terhadap berbagai produk budaya lama tentu saja bukan hanya dialami oleh drama gong. Akan banyak sekali nama yang mengisi daftar peninggalan ini.

Ada satu contoh kasus menarik pada drama gong di tengah permainan yang demikian. Sebuah komunitas drama gong dari Banyuning, Singaraja, menawarkan sebuah bentuk baru dalam drama gong dengan memasukkan lebih banyak konsep-konsep teater modern ke dalamnya. Namun sepertinya bentuk ini hanya mampu mengisi event-event festival semacam PKB. Ia tidak terlalu berhasil mencapai puncaknya di masyarakat yang menanggapnya secara terbuka tanpa embel-embel festival.

Televisi Lokal dan Pemerintah
Dulu salah satu lahan hidup drama gong adalah TVRI Denpasar. Kini ketika teknologi informasi jauh lebih canggih dan beragam dibanding sekadar TVRI Denpasar, drama gong tak ambil bagian di dalamnya. Drama gong yang salah satunya memegang peran sebagai penghibur masyarakat tak cekatan meng-upgrade diri, tak mampu mengimbangi kekuatan super cepat teknologi informasi. Yang sedikit bisa mengakomodasi – walaupun lebih tampak melayani – kekuatan itu adalah personal-personal dari komunitas drama gong, seperti Petruk, Dolar, Dadap, Mang Apel dan lainnya, yang dulu memang berperan sebagai parekan, dengan jasa lawakan atau humornya di televisi lokal. Bahkan, orang-orang yang dulu memerankan tokoh-tokoh serius dan keras semacam Patih Agung dan Raja juga ikut ambil bagian di panggung lawakan independen.

Televisi-televisi lokal di Bali yang mengibarkan misi atau paling tidak slogan pemeliharaan kebudayaan Bali, baik itu ajeg Bali atau apalah namanya, ternyata lebih melayani permainan yang ditawarkan arus besar industri hiburan televisi di Indonesia – yang sebenarnya juga banyak mengadopsi dan meniru acara telivisi luar. Memproduksi sinetron, komedi situasi, lawakan studio, acara kriminal, klenik dan infotainment dipandang lebih menjanjikan secara pasar.

Memang, televisi lokal tengah bergerak mengikuti selera massa yang notabene telah berubah karena pengaruh permainan besar global. Namun televisi lokal belum menampakkan usaha yang kuat untuk mempengaruhi selera massa ke arah yang lain. Sekali lagi, televisi lokal lebih memilih untuk masuk ke dalam permainan itu, dengan kata lain ikut dipermainkan. Ini barangkali masalah ketakberdayaan televisi lokal. Tapi yang lebih tampak adalah usaha untuk ikut menjadi pemain, memainkan permainan demi permainan.

Dulu ketika masa kejayaan drama gong terus menanjak, pemerintah memang punya andil di dalamnya. Berbagai lomba, baik antardesa atau kabupaten menjadi salah satu perangsang kemunculan komunitas-komunitas drama gong. Walaupun memang banyak yang lahir hanya untuk meladeni lomba-lomba tersebut, namun banyak jebolan lomba ini yang mampu mencapai puncak artistik dan pencapaian penontonnya.

Ketika andil pemerintah surut dan aksi artistik komunitas drama gong pun surut, maka dengan mudah hipotesis diambil: pemerintah punya peran yang cukup besar dalam perkembangan drma gong di Bali.

Namun, barangkali akan terlalu nyinyir jika masalah dilempar ke sana-sini. Yang dibutuhkan drama gong sekarang adalah orang-orang cerdas dan kreatif. Dan mau kerja.


Jogja, Januari 2009

1 komentar:

Anonim mengatakan...

drama gong kita telah dihabisin oleh drama-drama yang lebih kompleks, lebih lucu, lebih konyol, lebih sadis, lebih bikin gregetan, di antaranya pilkadus, pilkades, pilbup, pilgub, pemilu, sengketa tanah pecatu, sengketa kuburan/setra, sengketa adat, sengketa bakso babi dan bakso sapi, polisiniasi pecalang, kampanye ajeg bali, politisasi bebotoh, dlllllllllllll

Posting Komentar