Sejarah Bali


Oleh: Ibed Surgana Yuga

Mitos adalah sejarah Bali
yang membumi.

Balinese history is opaque and difficult to Western eyes. In addition to thorny problems involving dating, establishing the provenance and antiquity of manuscripts, and verifying data, Balinese history stretches our sense of what is credible. Historical narratives are filled with tales of magic, divine intervention in human affairs, and superhuman feats, which have generally been categorized as ‘myth’ by Western scholars; who, in various ways, conclude that the Balinese have no history, or that their sense of history is not "proper".
- Mark Hobart

DARI seorang teman di Denpasar, saya beruntung mendapat sebuah buku tipis bulukan dengan jilidan terlepas, terbitan Pemda Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1980. Buku yang ditulis oleh tim penyusun yang organisatoris-formal ini berjudul Sejarah Bali dan disusun untuk kepentingan bacaan penunjang pelaksanaan kurikulum SD 1975. Namun demikian, buku ini saya temukan di beberapa bibliografi buku-buku terkemuka tentang Bali.

Yang dimaksud dengan sejarah Bali dalam buku ini disusun dari masa prasejarah hingga sejarah. Masa sejarah dimulai dari periode 882-1343 yang terdiri atas Dinasti Singhamandawa dan Dinasti Warmadewa. Sedang berikutnya adalah periode 1343-1846, di mana diawali oleh ekspedisi Gajah Mada ke Bali hingga masa Kerajaan Klungkung. Selanjutnya adalah masa kolonial Belanda dan Jepang serta masa kemerdekaan (1945) dan penyerahan kedaulatan (1949).

Dapat kita baca dalam lintasan apa yang dinamakan sejarah Bali di atas bahwa periodisasi-periodisasi sejarah didasarkan atas kuasa. Yang pertama ada kuasa dinasti raja, yang kedua kuasa penjajah, dan ketiga adalah kuasa pemerintah pusat. Kuasa raja dapat dilihat dari penyusunan yang didasarkan atas Dinasti Singhamandawa dan Dinasti Warmadewa serta kerajaan periode 1343-1846. Lalu kuasa penjajah ada pada Belanda dan Jepang serta juga pada ekspedisi Gajah Mada. Sedang kuasa pemerintah pusat dapat kita lihat pada momen kemerdekaan dan penyerahan kedaulatan yang mengikuti momen-momen yang merupakan putusan pemerintah pusat ketika itu.

Sebenarnya, dalam konteks penerbitan buku itu, ditemukan lagi satu kuasa, yaitu pemerintah – Pemda Propinsi daerah Tingkat I Bali – ketika itu. Intinya, penulisan buku itu didasarkan atas penarikan titik-titik sejarah “orang-orang kuat” yang masing-masing sinkronis, kemudian dihubungkan sehingga membentuk garis sejarah Bali yang diakronis. Dan kerja ini dilakukan pula oleh “orang-orang kuat” – dalam hal ini pemerintah – dengan berusaha menyusun sejarah yang saintifik, di mana didukung oleh bukti-bukti sejarah tertulis maupun artefak. Maka, jadilah sejarah Bali versi buku itu sebagai sejarah Bali yang “legitimate” atau “resmi”.

“Sejarah resmi” semacam ini kemudian disebarluaskan ke masyarakat untuk dipercayai dan dibenarkan. Lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah formal menjadi salah satu agen yang bonafit dalam proyek “pemercayaan” dan “pembenaran” dari “sejarah resmi” ini. Masyarakat jadi “tahu” tentang sejarah masa lalu mereka, namun belum tentu sebenarnya masa lalu mereka memang terpaut atau terlibat dalam “sejarah resmi” itu. Namun kuasa kemudian memaksakan suatu “kebenaran” dan “keyakinan” bahwa semua bagian dari masyarakat adalah bagian dari “sejarah resmi” itu. Dengan kata lain, itulah sejarah yang sebenarnya. Bukan yang lain.

Kecenderungan peradaban manusia selalu didominasi oleh orang-orang kuat dalam berbagai bidang kehidupan – politik, sosial, ekonomi, seni, agama dan sebagainya. Orang-orang kuat selalu memiliki tendensi penguasaan terhadap orang-orang lemah, wong cilik, rakyat jelata. Dan orang-orang lemah pun terkuasai. Dalam arti mereka mengakui kekuasaan orang-orang kuat dan memujanya. Kalaupun ada semacam perlawanan atau pemberontakan atau kudeta dari orang-orang lemah, toh akhirnya akan muncul orang kuat baru dari orang-orang lemah itu yang akhirnya memiliki kuasa. Lihatlah Ken Arok. Ya, selalu ada alur yang sirkuler.

Lalu di mana sejarah orang-orang lemah, wong cilik, rakyat jelata? Sepertinya cukup hidup di ingatan mereka dan terbawa mati seiring badan. Kalaupun hidup, ia menjadi cerita-cerita lisan yang hidup oleh oral traditon. Namun, jika dilihat dengan seksama inilah sejarah masyarakat kecil, “which have generally been categorized as ‘myth’ by Western scholars” – seturut Hobart. Inilah “sejarah” yang orijinal dan otentik. Sejarah yang sangat Bali. Sejarah yang lebih membumi. Dan sejarah itu sekarang kita kenal dengan nama dongeng (satua), legenda, mitos, prosa rakyat atau folklor-folklor lainnya, serta yang “agak” memenuhi syarat “sejarah resmi” adalah babad.

Secara keilmuan (Barat!), folklor-folklor yang lahir dari oral traditon itu memang ditolak dari kategorisasi sejarah. Namun jika dilihat dengan seksama, dalam folklor-folklor itu dapat dibaca sejarah karateristik orang Bali, khususnya masyarakat kecil yang jauh dari prestise palsu, jauh dari ritual kewibawaan yang cuma teater – sebagaimana pembacaan Clifford Geertz dalam Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali.

Kalau berbicara tentang babad, barangkali ia masih memiliki posisi tawar yang lumayan bergengsi di mata “sejarah resmi” karena ia memang memiliki anasir serta struktur yang dekat dengan “sejarah resmi”. Babad Dalem, misalnya, menjadi sumber besar penulisan sejarah Bali yang dikenal sekarang. Dan hal ini ternyata sedikit-banyak tidak bisa dilepaskan dari kuasa. Banyak babad disusun untuk mengabadikan tokoh-tokoh kuat, tokoh-tokoh yang memiliki kuasa, baik dari suatu klan, aliran kepercayaan atau yang lainnya.

Namun jangan lupa pula bahwa kuasa juga masih memiliki taring dalam “sejarah” masyarakat kecil yang terdapat dalam folklor-folklor lisan. Lihatlah, banyak dongeng atau legenda yang tidak melepaskan kisahnya dari kisaran kerajaan atau kuasa raja.

Jogja, Mei-Juni 2008

1 komentar:

Afif Amrullah mengatakan...

nice post! bli Ibed mang yang paling mantap... kpn2 ajari saya Nulis donk ;)

Posting Komentar