Membaca Bali dari Candi Sukuh
Oleh: Ibed Surgana Yuga
Mencari wajah Bali
pada batu-batu purba di Jawa.
BANYAK ahli seni yang menyebut wayang kulit Bali memiliki bentuk yang lebih sederhana dibandingkan dengan wayang kulit Jawa yang lebih rumit dan memiliki stilisasi bentuk yang mengarah ke perkembangan dari bentuk sederhana. Mengapa hal ini bisa terjadi, padahal wayang kulit Bali juga memiliki akar pada wayang kulit Jawa (pada masa yang lebih kuno)? Jawabannya tentu saja perkembangan. Namun perkembangan yang macam apa? Beberapa argumen mengatakan bahwa wayang kulit Jawa mengalami perkembangan yang pesat dan kompleks, baik secara bentuk, lakon dan filsafatnya pada masa pengaruh Islam. Sedangkan wayang kulit Bali yang tetap berada di bawah kultur Hinduisme, tidak mengalami perkembangan sebagaimana sejawatnya di Jawa. Saya sendiri baru saja mendapat jawaban (yang masih kabur) tentang perbedaan ini, setelah berkunjung ke Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Candi Sukuh: Kembali ke Jiwa “Primitif” yang “Kasar”
Jika kita melihat bentuk umum candi-candi di Jawa, maka ketika melihat Candi Sukuh sebagai candi Hindu, kita akan disuguhi bentuk candi yang “aneh”. Seakan ia tidak bisa dilacak dari arsitektur kebudayaan Hindu. Bentuknya yang berupa piramida, lebih mengingatkan kita pada kebudayaan Mesir, Meksiko, Peru atau Polynesia.
Candi Sukuh diperkirakan dibangun antara tahun 1416 dan 1459, pada masa akhir kejayaan Hinduisme di Jawa. Yang menarik, candi ini justru dibangun jauh dari pusat peradaban Hindu ketika itu, yaitu Majapahit di Jawa Timur. Ia malah lebih dekat dengan pusat Hinduisme sebelumnya, yaitu Mataram Lama di Jawa Tengah, pada sekitar abad ke-9. Dugaan yang beredar adalah bahwa candi ini dibangun oleh orang-orang yang menyingkir dari Majapahit karena kerajaan itu telah dikalahkan oleh Demak. Kita tahu bahwa ketika itu pula ada eksodus orang-orang Majapahit ke Bali, yang mana kini menjadi nenek moyang sebagian besar orang Bali.
Secara garis besar, Candi Sukuh dilingkupi dengan simbol-simbol besar lingga-yoni. Di lantai gerbang masuk utama, lingga (kelamin laki-laki) dan yoni (kelamin perempuan) digambarkan dengan gamblang dan cenderung bergaya realis. Pada beberapa relief dan arca, alat kelamin (terutama laki-laki) digambarkan dengan vulgar dan cenderung dibesar-besarkan. Simbol lingga-yoni sering dibaca sebagai simbol kesuburan. Saya jadi teringat sebuah relief yang menggambarkan persenggamaan yang terpahat di Pura Maduwe Karang, Singaraja.
Dari relief-relief yang ada di Candi Sukuh, terbaca tiga cerita besar, yaitu “Garudeya”, “Sudamala” dan “Dewaruci”. “Garudeya” bercerita tentang burung garuda yang menyelamatkan ibunya, Dewi Winata, dari perbudakan dengan mencuri tirta amerta dari para dewa. Sadewa meruwat Dewi Durga hingga kembali menjadi Dewi Uma dalam cerita “Sudamala”. Dan Bima mencari tirta amerta di dasar samudera, hingga ia menemukan “dirinya sendiri”, yaitu Dewaruci. Dari cerita ini muncul dugaan besar bahwa Candi Sukuh merupakan candi yang digunakan untuk ritual-ritual ruwatan atau penyucian.
Dari segi arsitektural, Candi Sukuh diduga dibangun dengan menyalahi pola dari kitab tentang arsitektur Hindu, yaitu Wastu Widya. Dalam kitab ini konon dijelaskan tentang bentuk candi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengah, yang merupakan wilayah paling suci. Argumen yang kemudian muncul adalah, candi ini dibangun pada masa pudarnya kejayaan Hindu di Jawa, sehingga bentuk-bentuk yang lebih mengemuka kemudian justru dari kebudayaan yang lebih kuno dan arkaik, yaitu masa megalitik.
Argumen ini dapat kita buktikan jika melihat bentuk-bentuk yang tergambar pada arca dan relief di kompleks candi. Figur-figur yang tergambar dari pahatan batu itu terlihat lebih “kasar” dan “primitif” dibandingkan dengan berbagai figur yang terpahat pada batu-batu candi yang dibangun berabad-abad sebelumnya, seperti Prambanan dan Borobudur. Adakah ini menunjukkan bahwa Candi Sukuh merupakan sebuah refleksi kembalinya jiwa “primitif” manusia setelah mengalami masa kejayaan?
Kuatnya pengaruh budaya megalitik juga terlihat pada jalan batu yang memanjang lurus dari gerbang utama hingga menuju pintu masuk candi. Jalan batu seperti ini menurut para ahli sangat jarang ditemukan pada candi-candi umumnya di Jawa. Model jalan seperti ini hanya bisa ditemukan pada bangunan-bangunan suci prasejarah megalitik. Di Bali, jalan batu seperti ini terdapat di Desa Trunyan. Orang Trunyan menyebutnya dengan nama Jalan Batu Gede, yang menurut legenda dibangun oleh Kebo Iwo.
Namun, “keanehan” yang muncul ketika melihat Candi Sukuh barangkali bisa ditepis ketika kita naik ke puncaknya yang berupa dataran batu. Di tengah-tengah lantai batu itu bisa kita lihat batu berbentuk segi empat yang agaknya merupakan sendi, dasar atau tempat meletakkan atau menancapkan tiang kayu suatu bangunan. Dari sini muncul dugaan bahwa di atas piramida itu barangkali ada lagi bangunan tertentu dari bahan yang tidak tahan usia, seperti dari kayu, yang agaknya telah hancur. Jika benar demikian, maka candi yang berbentuk piramida sekarang ini hanyalah sebuah dasar yang lebih mirip punden berundak, prototipe dari candi-candi di Jawa. Hal ini barangkali mirip dengan bangunan palinggih di Bali, di mana bagian baturan-nya dibuat dari batu atau bata, sedangkan bagian palinggih atasnya terbuat dari kayu.
Bali Kini di Candi Sukuh
Jika benar Candi Sukuh dibangun oleh orang-orang yang eksodus dari Majapahit setelah keruntuhan kerajaan itu, maka mereka adalah sejawat dengan orang-orang yang juga meletakkan pengaruh budaya Majapahit di Bali. Ilustrasi saya tentang perbandingan wayang kulit Jawa dan Bali di awal tulisan ini barangkali bisa dijadikan argumen.
Pada relief-relief di Candi Sukuh ditemukan figur-figur yang sangat mirip dengan bentuk tokoh Tualen dan Merdah, keduanya adalah tokoh parekan atau punakawan dalam wayang kulit Bali. Figur-figur ini ditemukan bukan hanya satu-dua, namun banyak sekali. Jika kita menyimak kisah yang digambarkan relief, tampak jelas bahwa figur-figur ini dekat dengan peran parekan, yaitu pengiring tokoh utama. Figur-figur semacam ini tidak ditemukan dalam wayang kulit Jawa. Tokoh Semar dalam wayang kulit Jawa yang sering diidentifikasi sebagai Tualen dalam wayang kulit Bali, pada dasarnya tak memiliki kemiripan bentuk.
Candi Sukuh juga banyak menghadirkan figur Bima. Salah satu dugaan mengatakan bahwa candi ini memang dibangun untuk memuja Bima. Figur-figur Bima yang digambarkan pahatan batu di sini lebih dekat dengan bentuk tokoh Bima dalam wayang kulit Bali dibandingkan dengan wayang kulit Jawa. Bima dalam wayang kulit Bali digambarkan cenderung kecil dan proporsional. Sedangkan dalam wayang kulit Jawa, Bima berbentuk sangat tinggi, dengan tangan yang panjang. Selain itu, ada pula sebuah relief kepala raksasa yang bentuknya mirip dengan Barong Ket di Bali.
Candi Sukuh sebagai salah satu produk budaya Hindu yang unik barangkali bisa dijadikan salah satu refleksi untuk membaca Bali kini. Dari sini kita bisa membaca sejauh mana sebenarnya kita telah bergerak dan sejauh mana kita “melenceng” dari jalan yang dirintis oleh para leluhur kita.
Jogja, Juli 2010
Mencari wajah Bali
pada batu-batu purba di Jawa.
BANYAK ahli seni yang menyebut wayang kulit Bali memiliki bentuk yang lebih sederhana dibandingkan dengan wayang kulit Jawa yang lebih rumit dan memiliki stilisasi bentuk yang mengarah ke perkembangan dari bentuk sederhana. Mengapa hal ini bisa terjadi, padahal wayang kulit Bali juga memiliki akar pada wayang kulit Jawa (pada masa yang lebih kuno)? Jawabannya tentu saja perkembangan. Namun perkembangan yang macam apa? Beberapa argumen mengatakan bahwa wayang kulit Jawa mengalami perkembangan yang pesat dan kompleks, baik secara bentuk, lakon dan filsafatnya pada masa pengaruh Islam. Sedangkan wayang kulit Bali yang tetap berada di bawah kultur Hinduisme, tidak mengalami perkembangan sebagaimana sejawatnya di Jawa. Saya sendiri baru saja mendapat jawaban (yang masih kabur) tentang perbedaan ini, setelah berkunjung ke Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Candi Sukuh: Kembali ke Jiwa “Primitif” yang “Kasar”
Jika kita melihat bentuk umum candi-candi di Jawa, maka ketika melihat Candi Sukuh sebagai candi Hindu, kita akan disuguhi bentuk candi yang “aneh”. Seakan ia tidak bisa dilacak dari arsitektur kebudayaan Hindu. Bentuknya yang berupa piramida, lebih mengingatkan kita pada kebudayaan Mesir, Meksiko, Peru atau Polynesia.
Candi Sukuh diperkirakan dibangun antara tahun 1416 dan 1459, pada masa akhir kejayaan Hinduisme di Jawa. Yang menarik, candi ini justru dibangun jauh dari pusat peradaban Hindu ketika itu, yaitu Majapahit di Jawa Timur. Ia malah lebih dekat dengan pusat Hinduisme sebelumnya, yaitu Mataram Lama di Jawa Tengah, pada sekitar abad ke-9. Dugaan yang beredar adalah bahwa candi ini dibangun oleh orang-orang yang menyingkir dari Majapahit karena kerajaan itu telah dikalahkan oleh Demak. Kita tahu bahwa ketika itu pula ada eksodus orang-orang Majapahit ke Bali, yang mana kini menjadi nenek moyang sebagian besar orang Bali.
Secara garis besar, Candi Sukuh dilingkupi dengan simbol-simbol besar lingga-yoni. Di lantai gerbang masuk utama, lingga (kelamin laki-laki) dan yoni (kelamin perempuan) digambarkan dengan gamblang dan cenderung bergaya realis. Pada beberapa relief dan arca, alat kelamin (terutama laki-laki) digambarkan dengan vulgar dan cenderung dibesar-besarkan. Simbol lingga-yoni sering dibaca sebagai simbol kesuburan. Saya jadi teringat sebuah relief yang menggambarkan persenggamaan yang terpahat di Pura Maduwe Karang, Singaraja.
Dari relief-relief yang ada di Candi Sukuh, terbaca tiga cerita besar, yaitu “Garudeya”, “Sudamala” dan “Dewaruci”. “Garudeya” bercerita tentang burung garuda yang menyelamatkan ibunya, Dewi Winata, dari perbudakan dengan mencuri tirta amerta dari para dewa. Sadewa meruwat Dewi Durga hingga kembali menjadi Dewi Uma dalam cerita “Sudamala”. Dan Bima mencari tirta amerta di dasar samudera, hingga ia menemukan “dirinya sendiri”, yaitu Dewaruci. Dari cerita ini muncul dugaan besar bahwa Candi Sukuh merupakan candi yang digunakan untuk ritual-ritual ruwatan atau penyucian.
Dari segi arsitektural, Candi Sukuh diduga dibangun dengan menyalahi pola dari kitab tentang arsitektur Hindu, yaitu Wastu Widya. Dalam kitab ini konon dijelaskan tentang bentuk candi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengah, yang merupakan wilayah paling suci. Argumen yang kemudian muncul adalah, candi ini dibangun pada masa pudarnya kejayaan Hindu di Jawa, sehingga bentuk-bentuk yang lebih mengemuka kemudian justru dari kebudayaan yang lebih kuno dan arkaik, yaitu masa megalitik.
Argumen ini dapat kita buktikan jika melihat bentuk-bentuk yang tergambar pada arca dan relief di kompleks candi. Figur-figur yang tergambar dari pahatan batu itu terlihat lebih “kasar” dan “primitif” dibandingkan dengan berbagai figur yang terpahat pada batu-batu candi yang dibangun berabad-abad sebelumnya, seperti Prambanan dan Borobudur. Adakah ini menunjukkan bahwa Candi Sukuh merupakan sebuah refleksi kembalinya jiwa “primitif” manusia setelah mengalami masa kejayaan?
Kuatnya pengaruh budaya megalitik juga terlihat pada jalan batu yang memanjang lurus dari gerbang utama hingga menuju pintu masuk candi. Jalan batu seperti ini menurut para ahli sangat jarang ditemukan pada candi-candi umumnya di Jawa. Model jalan seperti ini hanya bisa ditemukan pada bangunan-bangunan suci prasejarah megalitik. Di Bali, jalan batu seperti ini terdapat di Desa Trunyan. Orang Trunyan menyebutnya dengan nama Jalan Batu Gede, yang menurut legenda dibangun oleh Kebo Iwo.
Namun, “keanehan” yang muncul ketika melihat Candi Sukuh barangkali bisa ditepis ketika kita naik ke puncaknya yang berupa dataran batu. Di tengah-tengah lantai batu itu bisa kita lihat batu berbentuk segi empat yang agaknya merupakan sendi, dasar atau tempat meletakkan atau menancapkan tiang kayu suatu bangunan. Dari sini muncul dugaan bahwa di atas piramida itu barangkali ada lagi bangunan tertentu dari bahan yang tidak tahan usia, seperti dari kayu, yang agaknya telah hancur. Jika benar demikian, maka candi yang berbentuk piramida sekarang ini hanyalah sebuah dasar yang lebih mirip punden berundak, prototipe dari candi-candi di Jawa. Hal ini barangkali mirip dengan bangunan palinggih di Bali, di mana bagian baturan-nya dibuat dari batu atau bata, sedangkan bagian palinggih atasnya terbuat dari kayu.
Bali Kini di Candi Sukuh
Jika benar Candi Sukuh dibangun oleh orang-orang yang eksodus dari Majapahit setelah keruntuhan kerajaan itu, maka mereka adalah sejawat dengan orang-orang yang juga meletakkan pengaruh budaya Majapahit di Bali. Ilustrasi saya tentang perbandingan wayang kulit Jawa dan Bali di awal tulisan ini barangkali bisa dijadikan argumen.
Pada relief-relief di Candi Sukuh ditemukan figur-figur yang sangat mirip dengan bentuk tokoh Tualen dan Merdah, keduanya adalah tokoh parekan atau punakawan dalam wayang kulit Bali. Figur-figur ini ditemukan bukan hanya satu-dua, namun banyak sekali. Jika kita menyimak kisah yang digambarkan relief, tampak jelas bahwa figur-figur ini dekat dengan peran parekan, yaitu pengiring tokoh utama. Figur-figur semacam ini tidak ditemukan dalam wayang kulit Jawa. Tokoh Semar dalam wayang kulit Jawa yang sering diidentifikasi sebagai Tualen dalam wayang kulit Bali, pada dasarnya tak memiliki kemiripan bentuk.
Candi Sukuh juga banyak menghadirkan figur Bima. Salah satu dugaan mengatakan bahwa candi ini memang dibangun untuk memuja Bima. Figur-figur Bima yang digambarkan pahatan batu di sini lebih dekat dengan bentuk tokoh Bima dalam wayang kulit Bali dibandingkan dengan wayang kulit Jawa. Bima dalam wayang kulit Bali digambarkan cenderung kecil dan proporsional. Sedangkan dalam wayang kulit Jawa, Bima berbentuk sangat tinggi, dengan tangan yang panjang. Selain itu, ada pula sebuah relief kepala raksasa yang bentuknya mirip dengan Barong Ket di Bali.
Candi Sukuh sebagai salah satu produk budaya Hindu yang unik barangkali bisa dijadikan salah satu refleksi untuk membaca Bali kini. Dari sini kita bisa membaca sejauh mana sebenarnya kita telah bergerak dan sejauh mana kita “melenceng” dari jalan yang dirintis oleh para leluhur kita.
Jogja, Juli 2010